Membaca sekilas judul tersebut mungkin terasa menggelikan. Yang terpintas di benak pembaca adalah apa hubungannya dengan cabe dan serangan maag. Sejatinya, tercetus ide membuat artikel ini beserta judul di atas berawal dari pengalaman penulis sendiri. Bagaimana cerita pengalaman tersebut?
Tepatnya sewaktu penulis sedang dikirim bertugas ke RSUD Cilacap sebagai residen, memang suatu kebiasaan rutin di pagi hari mulai pukul 06:30 WIB penulis sudah muter bangsal penyakit dalam untuk melaksanakan visite pasien. Visite yang biasanya berlangsung sekitar 2 jam ini, diakhiri dengan makan pagi pukul 08:30 WIB dan dilanjutkan dengan tugas di poliklinik penyakit dalam dengan pasien sejibun. Kenapa visite dulu baru makan? Jawabnya karena makan pagi yang biasanya disediakan untuk residen belum datang.
O.. la.. la.. Saat di bangsal, perawat dengan ramahnya menawarkan gorengan panas di pagi hari dengan paduan teh hangat yang menggugah selera. Kombinasi perut yang memang sudah lapar dan lelah sehabis visite pasien, akhirnya gorengan tersebut terjamah juga. Dan parahnya lagi, kumpulan cabe segar berwarna hijau yang menghiasi membuat penulis kalap untuk memakannya, walau cuman sebutir.
Dua buah gorengan¸sebuah cabe dan segelas teh hangat dengan cepat penulis habiskan, lanjut poli dan lupa makan pagi untuk selanjutnya bisa ditebak. Baru satu jam di poli, perut penulis sudah terasa tidak enak, campuran rasa melilit dan menusuk di daerah ulu hati menyerang bergantian. Berusaha menutupi ketidaknyamanan di hadapan pasien, konsumsi Antasida (obat maag) sebagai pertolongan pertama dan minum air putih dengan banyak tidak cukup membantu. Semakin ditahan semakin nyeri, keringat dingin dan bibir pucat menahan nyeri mulai nampak. Akhirnya atas seizin senior internist di poli, penulis segera beristirahat.
Cerita di atas sebenarnya hanyalah pembuka dari tulisan ini untuk mengajak pembaca berfikir, apa dan bagaimana penyakit maag? Apa penyebabnya? Apa pencetusnya? Apa yang harus dilakukan dan dihindari? Maag, sebuah kata yang sering disebutkan oleh masyarakat, pasien, bahkan dokter. Tapi dalam istilah medis sendiri diagnosisnya tidak ada. Kata ini mirip dengan istilah penyakit masuk angin di masyarakat, sering diucapkan tapi ketika diminta pengertian secara ilmiah tidak ada yang bisa jawab. Tentang istilah masuk angin pernah saya tulis di sini.
Mungkin ada beberapa pembaca di sini dengan profesi dokter, izinkan penulis bertanya. “Ketika Anda mendapati keluhan pasien yang mengarah terhadap gejala maag, apa diagnosa yang Anda tuliskan?”
Sering pasien datang dengan kata-kata, “dok, saya kena maag”, “dok, perut saya kembung, sering mual, saya kena maag ya dok?” “Udah 3 hari ini mencret-mencret habis makan pedes, mungkin saya kena maag dok” dan lain-lain. Berbagai macam diagnosa dituliskan, dari sindrom dispepsia, gastritis, gastroesophageal reflux disease, heart burn, tukak gaster dan sebagainya, namun tidak ada kata-kata maag tertulis di sana.
Penulis senang sekali mengutip pengertian di Ensiklopedia Bebas online Wikipedia.com karena sering diakses masyarakat, situs tersebut menuliskan bahwa maag atau radang lambung atau tukak lambung adalah gejala penyakit yang menyerang lambung dikarenakan terjadi luka atau peradangan pada lambung yang menyebabkan sakit, mulas, dan perih pada perut. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan, karena Wikipedia adalah sebuah ensiklopedia bebas online yang boleh ditulis oleh siapapun dengan kebenarannya belum tentu bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam yang menjadi acuan utama dokter khususnya di bidang penyakit dalam, tidak ada satupun tulisan yang menuliskan kata maag. Di sub bab tentang pendekatan klinis pasien gastrointestinal, gangguan atau gejala yang berkaitan dengan pencernaan lebih dikhususkan terhadap di mana gejala tersebut dominan.
Diagnosa yang sering dipakai oleh para dokter dengan keluhan maag adalah dispepsia. Sebenarnya dispepsia sendiri bukan bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu sindrom yang harus dicari tahu penyebabnya. Apa itu sindrom, yaitu suatu kumpulan gejala. Pada dispepsia kumpulan gejala tersebut adalah nyeri atau tidak nyaman di ulu hati (tipe ulkus), kembung, mual, muntah, sendawa, cepat kenyang, terasa penuh/begah (tipe dismotility), namun tidak semua gejala harus ada. Jadi ketika dokter menuliskan diagnosa dispepsia maka itu bukanlah suatu diagnosa final, tetapi awal untuk pelacakan penyebab terjadinya kumpulan gejala tersebut.
Banyak penyebab terjadinya dispepsia, antara lain luka di lambung, peradangan dinding lambung, tumor lambung, infeksi bakteri H. pylori, riwayat sering mengkonsumsi obat-obatan yang menipiskan dinding lambung, penyakit hati, penyakit sistemik (diabetes, tiroid, jantung coroner), bahkan yang hanya bersifat fungsional yang artinya tidak ada bukti kelainan/gangguan organ dan biokimia yang sering dikenal dengan dispepsia fungsional.
Selain penyebab, tentu ada pemicu sampai terjadinya serangan nyeri/tidak nyaman di ulu hati seperti kasus penulis di atas. Pemicunya antara lain mengkonsumsi yang mengiritasi lambung (pedas dan berkarbonasi), yang meningkatkan asam lambung (kopi atau obat-obatan anti nyeri), stress berlebih dan sebagainya.
Jadi jika pembaca di sini sebagai seorang pasien, Anda jangan hanya berpuas diri ketika dokter mendiagnosa Anda dengan kata maag atau kata dispepsia. Sebab kalau boleh penulis berpendapat, ini adalah diagnosa yang masih ngambang, harus dicari tahu lebih lanjut penyebabnya.
Ada diagnosa lain dalam pendekatan klinis penyakit pencernaan ini yaitu gastritis. Secara sederhana definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Namun yang jadi permasalahan dalam penegakkan diagnosa harus berdasarkan panduan Update Sydney System yaitu melalui tindakan gastroskopi (suatu tabung lentur/fleksibel dengan kamera yang dimasukkan ke dalam lambung pasien). Karena gastritis adalah suatu diagnosa yang harus dibuktikan dengan terlihatnya peradangan di mukosa/submokusa lambung bahkan beberapa tulisan mengatakan harus dilakukan tindakan histopatologi (pengambilan sampel jaringan untuk diperiksa di mikroskop), jika kecurigaan kita kuat cukup namun tidak ada fasilitas gastroskopi, maka cukup dengan menuliskan diagnosa suspek (curiga) gastritis.
Banyak gejala dan tanda lain yang berkaitan dengan kelainan sistem perncernaan, antara lain disfagia (sensasi gangguan hantar makanan dari mulut ke lambung), heart burn (sensasi rasa panas di balik tulang dada), perdarahan saluran cerna, muntah, diare akut dan kronik dan konstipasi yang awalnya hanya seperti dispepsia tapi sebenarnya hal tersebut adalah suatu komplikasi lanjutan yang perlu penanganan yang tepat.
Sehingga jika Anda sebagai pasien, sangat disarankan untuk tetap kritis dan tidak berpuas diri jika yang ketahui tentang penyakit Anda adalah maag. Anda perlu terus menggali dan berdiskusi kepada dokter kesayangan Anda untuk tindakan selanjutnya sampai diketahui penyebab utama penyakit tersebut.
Kepada rekan sejawat, penegakkan diagnosa terhadap gangguan yang berkaitan dengan pencernaan tidak sesederhana saat kita menuliskan kata dispepsia. Apalagi jika diagnosa ini telah tertulis bertahun-tahun di status rawat jalan pasien kita. Mari kita tingkatkan rasa ingin tahu kita dan berkolaborasi dengan sejawat yang lebih ahli untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Buatlah suatu prinsip BPIS (Bila Pasien Itu Saya).
Kepada masyarakat secara luas, tulisan ini hanya secuil dari banyaknya tulisan lain yang lebih bermutu dan menarik, namun penulis mengharapkan dari tulisan ini marilah kita menjadi pribadi yang cerdas dan lebih peduli dengan kesehatan. Banyak istilah penyakit yang familiar di masyarakat tapi tidak tertulis dalam istilah medis seperti masuk angina, angin duduk ataupun maag yang kita bahas ini, tentunya masyarakat harus pintar untuk lebih mengetahui yang sebenarnya. Ingat bahwa kesehatan milik pribadi masing-masing dan hak manusia untuk lebih tahu tentang kesehatan, bukan hanya monopoli dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Besar kiranya kita berjalan bersama untuk mendukung Indonesia sehat, bukan saling hujat dan membeladiri, penuh dengan syak wasangka yang akhirnya semakin memperkeruh suasana. Biarlah Indonesia semakin maju dengan masyarakat modern yang sehat. Semoga
Yogyakarta, 2 Rabi’ul Awal 1437 H
dr. Meldy Muzada Elfa / @meldy01
(Praktisi Kesehatan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H