Dibandingkan virus HIV yang dapat menyebabkan AIDS, virus Hepatitis B seratus kali lebih ganas (infectious), dan sepuluh kali lebih banyak (sering) menularkan. Kebanyakan gejala Hepatitis B tidak nyata.
Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum. Jika seseorang baru pertama kali diperiksa dengan hasil HBsAg positif, maka belum tentu dia adalah hepatitis B akut, perlu dilihat gejala klinis beberapa pemeriksaan lain yang membuktikan bahwa dia fase akut. Jika kondisi seseorang dalam keadaan demam, kuning ataupun hasil laboratorium menunjukkan kerusakan hati, maka kecurigaan tinggi dia sedang dalam fase akut dan perlu pengobatan segera. Tapi jika tidak ada tanda-tanda itu, maka mungkin saja dia hepatitis B kronis (>6 bulan) namun baru terperiksa positif sekarang.
Pada umumnya, gejala penyakit Hepatitis B ringan. Gejala tersebut dapat berupa selera makan hilang, rasa tidak enak di perut, mual sampai muntah, demam ringan, kadang-kadang disertai nyeri sendi dan bengkak pada perut kanan atas. Setelah satu minggu akan timbul gejala utama seperti bagian putih pada mata tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak kuning dan air seni berwarna seperti teh.
Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap virus Hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh. Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan menjadi carrier inaktif. Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua hal di atas) maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis.
Baik, mari kita masuk inti kesimpulan dari tulisan ini tentang bagaimana jika seseorang yang diperiksa, didapatkan hasil HBsAg reaktif/positif?
- Virus hepatitis B tidak menular lewat makanan, minuman dan kontak biasa. Virus ini sangat infeksius dan menularkan lewat darah melalui suntikan, tranfusi, atau carian tubuh yaitu kontak seksual dan bayi yang tertular dari ibunya. (Banyak kasus yang saya dapatkan pasien dengan HBsAg positif mempunyai riwayat penggunaan jarum suntik dan free sex. Dan petugas kesehatan (dokter/perawat/bidan) karena nedle stick injury/kecelakaan kerja tertusuk jarum suntik dari pasien)
- Ketika didapatkan hasil HBsAg positif, maka segera kontrol ke internist (spesialis penyakit dalam), untuk menentukan fase hepatitisnya. Apakah akut atau kronik? Apakah aktif atau dormand? Apakah perlu mendapatkan pengobatan segera atau tidak?
- Dalam kurva pemeriksaan laboratorium untuk hepatitis B, seseorang dengan HBsAg positif cenderung akan positif seumur hidupnya. Sehingga hal ini menjadi momok bagi pencari kerja yang melamar di perusahaan yang mewajibkan hasil HBsAg negatif.
- Hasil HBsAg positif, jika hepatitisnya aktif dan menyebabkan kerusakan, maka kemungkinan menyebabkan sirosis hati atau kanker hati. Tapi jika hanya karier, tidak menyebabkan kerusakan apapun bagi seseorang.
- Penting sekali vaksinasi pencegahan penularan hepatitis B tersebut, terutama pada pekerja dengan risiko tinggi yaitu tenaga kesehatan. Injeksi diberikan untuk membuat tubuh kebal terhadapnya. Direkomendasikan pada semua masyarakat untuk mendapat 3 vaksinasi (0, 1 bulan, dan 6 bulan) terutama ketika masih bayi untuk memberikan proteksi yang baik terhadap virus ini. Bagaimanapun, vaksinasi hanya memberikan proteksi maksimal sekitar 90 persen, dan tidak menyingkirkan sama sekali resiko infeksi.
- Pengobatan hepatitis B adalah pengobatan yang sangat mahal. Sampai sekarang preparat yang digunakan adalah antiviral seperti lamivudine dan adefovir dan modulator sistem kebal seperti Interferon Alfa ( Uniferon). Biaya pengobatan tersebut mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Dan akan terus bertambah ketika terjadi pemberatan penyakit seperti sirosis hati dan kanker hati.
Sebenarnya, sangat tidak adil ketika suatu perusahaan menjadikan acuan HBsAg reaktif/positif untuk menggagalkan pelamar masuk ke tahap lanjut, tanpa diharuskan konfirmasi tingkat keparahan hepatitis tersebut ke internist. Namun jika dilihat dari pertimbangan risk dan benefit terhadap perusahaan mereka, maka kita dapat memahami hal tersebut.
Sehingga bijak jika tindakan pencegahan seperti vaksinasi dan pengetahuan risiko penularan yang harus disosialisasikan kepada masyarakat maupun kepada kelompok risiko tinggi, sehingga sangat membantu terhadap pengurangan penyebaran hepatitis B dan komplikasinya.
Semoga sedikit tulisan saya ini membantu khazanah pengetahun tentang bagaiman hepatitis B, tentunya membantu program pemerintah untuk Indonesia Sehat tidak bisa dilakukan secara instan, tapi sedikit pemikiran ataupun tulisan tentunya dapat menjadi bagian dorongan untuk kemajuan Indonesia Sehat, semoga.
Â
Meldy Muzada Elfa
PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito