Mohon tunggu...
Lyfe Pilihan

Arie Belougi: Matahari di Balik Ilustrasi Pekerja Sosial

20 Mei 2016   12:48 Diperbarui: 21 Mei 2016   00:22 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup ini bukan untuk dimiliki tapi untuk dinikmati, dan setiap manusia dalam keadaan sadar memiliki tanggung jawab moral yang sama dalam memelihara kedamaian dan cinta antara dirinya dengan sesama ciptaan Tuhan dan harus memahami bahwa kehidupan ini sanagat menghargai kita dengan memberi waktu dan ruang untuk kita berbuat hal-hal yang bermanfaat. Setiap individu harus bersikap adil terhadap diri dan lingkungannya serta menyadari sepenuhnya bahwa nurani adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan buat kehidupan ini, di sana ada cinta yang patut dijaga dan dihormati.

Kalimat tersebut adalah ungkapan dari saudara Arie Belougi, seorang pekerja sosial di pedalaman Indonesia yang dimuat dalam dokumentasi Salidaritas Anak pedalamna Untuk Lingkungn dan Pendidikan (SAPULIDI) di Pulau Loeha, Danau Towuti. (11/11/2011)

Pada bulan Januari 2016, penulis membaca sebuah artikel berjudul "Mengenal Arie Belougi Tokoh Revolusi Moral Daerah Pelosok", artikel tersebut mengurai perjalanan pekerja sosial yang fokus beraktivitas di daerah pedalaman. Dari artikel tersebut, penulis jadi ingin tahu lebih banyak tentang tentang pekerja sosial berikut definisinya.

Penulis terlebih dahulu menelusururi sebuah komunitas pekerja sosial bernama Solidaritas Anak Pedalaman Untuk Lingkungan dan pendidikan (SAPULIDI). Selama hampir empat bulan, penulis mengorek informasi lebih jauh tentang komunitas tersebut berikut orang-orang di dalamnya, dan  waktunya pun tiba untuk berkunjung ke Pulau Loeha, Danau Towuti, tempat lahirnya Komunitas Sapulidi 26 tahun yang lalu, namun sebelum sampai ke tempat tersebut, penulis bertemu dengan bapak Ilyas yang kebetulan mengetahui sejarah lahirnya komunitas tersebut.

Bapak Ilyas pun bercerita bahwa "Komuintas Sapulidi adalah sebuah komunitas pekerja sosial yang begitu dekat di hati anak pedalaman Indonesia. Komunitas tersebut didirikan oleh seorang anak kampung berusia 15 tahun bernama Arie Belougi yang bermukim di sebuah Dusun kecil di pinggir Danau Towuti.  Untuk pertama kalinya  Arie  memperkenalkan Komunitas Sapulidi kepada rekan-rekannya sesama remaja kampung yang secara bersama-sama melewati malam pergantian tahun 1989 ke tahun 1990 di Pulau Loeha, Danau Towuti, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan"

Lanjut bapak Ilyas "Pada awalnya Komunitas Sapulidi lebih menyerupai perkumpulan anak remaja di pedalaman Towuti, namun kemudian menyebar ke sejumlah daerah pedalaman di Indonesia dan telah menginspirasi banyak anak muda untuk beraktivitas di bidang sosial dan menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat di daerah pelosok"

Mendengar cerita bapak Ilyas, penulis jadi mengerti soal Komunitas tersebut dan sekarang beralih menjadi ingin  mengorek lebih jauh tentang orang-orang di dalamnya termasuk saudara Arie Belougi selaku pendirinya.  Atas bantuan bapak Ilyas, penulis berhasil bertemu dengan saudara Rosman Salewangeng, salah satu kerabat Arie Belougi yang kebetulan hadir pada saat deklarasi komunitas tersebut. Dia-pun bercerita banyak tentang Komunitas Sapulidi dan juga figur Arie Belougi. Saudara Rosman kemudian mengajak kami ke suatu tempat, dia pun memperlihatkan beberapa dokumentasi tentang apa yang pernah dan sedang ia lakukan.

Yang menarik bagi penulis adalah kisah perjalanannya di penghujung tahun 1999, di mana anggota komunitas tersebut melakukan bhakti sosial dengan mengunjungi daerah pelosok di Kepulauan Rote, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Banggai di Sulawesi Tengah serta Kepulauan Sangihe, di Sulawesi Utara, dalam rangkaian sosialisasi tentang manfaat cinta lingkungan dan cinta kampung halaman dengan mengajak masyarakat untuk memelihara, memanfaatkan serta melestarikan alam dan lingkungan sebagai sahabat kehidupan dari generasi ke generasi". Dalam kegiatan tersebut, Komunitas Sapulidi melewatkan pergantian abad ke 20 ke abad 21 (Tahun 1999 ke tahun 2000) di bawah garis khatulistiwa, tepatnya di Desa Tinombo, Parigi Moutong, yang kemudian dikenal dengan "Dua Abad Sapulidi di Garis Khatulistiwa"

Kami bertiga pun sepakat untuk menemui Arie yang kebetulan  berada di Desa Puncak Indah yang berjarak kurang lebih 70 Km dari tempat kami saat itu. Penulis pun bertemu Arie dan mencerikan perjalanan penulis menelusri tempat lahirnya Komunitas Sapulidi sampai bisa ketemu dengannya. Spontan ia tertawa dan mengatakan "Ibu kok repot mencari sapulidi di pelosok, kan banyak banyak dijual di Pasar Daya dan Pasar Terong di Makassar" Kami berempat pun tidak dapat menahan tawa.

Penulis tak mau kalah dengan menjawab "Iya betul kata pak Arie, di rumah saya pun ada sapulidi dan baru beberapa bulan ini saya tahu kalau sapulidi di rumah saya beda dengan produksi Pulau Loeha". Suasana kami berempat semakin akrab. Lanjut Arie "Kalau maksud ibu kemari untuk cari tahu tentang kami tentu saja ibu salah alamat karena tidak ada hal yang istimewa yang dapat kami ceritakan, kami hanya orang biasa, terlahir dari ibu yang merupakan turunan orang biasa serta tumbuh dewasa dengan menjadi orang yang biasa-biasa saja.

Kami juga sampaikan satu hal sama ibu bahwa kami tidak akan bercerita tentang luka-luka yang terluka atau miskinnya konsep kemiskinan tapi kami memilih mengajak orang punya nurani untuk bermain musik dengan biola tanpa dawai. Dari pada kita habiskan waktu untuk sebuah retorika lebih baik kami mengajak ibu untuk melihat indahnya Danau Matano yang merupakan danau terdalam di Asia Tengggara dan juga melihat damainya alam Pulau Loeha di balik terbitnya matahari serta menyaksikan panorama Danau Towuti yang merupakan Danau Purba tetua di dunia dan diharapkan lestari hingga di ujung waktu.

Pernyataan Arie Belougi tersebut sekilas hanya biasa-biasa saja namun di dalamnya ada makna yang indah untuk dipetik yaitu :  

1. Bermain biola tanpa dawai " Mengajak kita menghindari sebuah retorika dengan bekerja tanpa banyak bicara" 

2. Indahnya Danau Matono sebagai Danau terdalam adalah "Menyadarkan kita untuk menyelami misteri kehidupan serta memahami bahwa hidup ini bukan untuk dimiliki tapi untuk dinikmati dan hendaknya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat"                                          

3. Melihat damainya alam Pulau Loeha di balik terbitnya matahari "Menjadi bahan inspirasi buat kita dalam melahirkan sebuah etika atas dasar moralitas yang dapat menyinari kehidupan serta menjadikan hidup kita bermanfaat buat sesama ciptaan Tuhan"   

4. Menyaksikan panorama Danau Towuti yang merupakan Danau purba tetua di dunia dan diharapkan lestari hingga di ujung waktu adalah "Memberi waktu dan ruang buat kita untuk jadi pelopor dalam melestarikan alam dan lingkungan sebagai sahabat kehidupan dari  generasi ke generasi"                                                                                                                    
Penulis kemudian mengalihkan pembicaraan ke pekerjaan sosial. Salah satu definisi pekerjaan sosial menurut para ahli adalah "Pekerjaan sosial merupakan profesi yang bidang utamanya adalah  pelayanan sosial yang terorganisasi, di mana kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan fasilitas dan memperkuat relasi, khususnya dalam penyesuaian diri secara timbal balik dan saling menguntungkan antara individu dengan lingkungan sosial serta dalam prakteknya didasarkan kepada pengetahuan dan keterampilan tentang relasi manusia sehingga dapat membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mencapai tujuan masing-masing" 

Arie Belougi sedikit mengoreksi pendapat para ahli yang mengatakan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu bentuk pelaksanaan kegiatan yang memerlukan keterampilan khusus. Menurunya pekerjaan sosial tidak selamanya didasari dengan pengetahuan atau suatu keterampilan tapi inti dari pola kegiatan tersebut adalah berdasar dari nurani seorang pekerja sosial itu sendiri.

Definisi tentang pekerjaan sosial lahir dari pendapat para hli seperti Allan Pincus, Max Siporin, Walter A. Friedlander, Leonora Serafika de Guzman dan Charles Zastrow. Dengan sangat menghormati pendapat para ahli tersebut,  Arie Belougi, seorang pekerja sosial di pedalaman Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa 

"Pekerjaan sosial adalah bagian dari realita hidup yang lahir dari sebuah pendekatan emosional yang dilakukan atas dasar etika dan moralitas. Dan seorang pekerja sosial harus menjadikan aktivitasnya sebagai seni profesi agar dalam pelaksaan dan realisasi kegiatannya dapat tercipta suatu kebersamaan yang harmonis antara pelaku dan pnerima manfaat"

Pendapat para ahli menunjukkan kepada kita betapa pentingnya sebuah keterampilan khusus yang harus dimiliki seorang pekerja sosial, sementara Arie Belougi mengajak kita memahami serta membedakan antara subtansi kegiatan dalam hal ini pekerjaan sosial dan subyek yaitu pelaku kegiatan itu sendiri. Gagasan Arie Belougi tentang hal ini jelas berada dalam ruang lingkup yang berbeda dengan pendapat para ahli. Arie Belougi dalam definisinya tidak selalu menjadikan keterampilan khusus sebagai hal utama dalam aktivitas sosial melainkan lebih mengarah ke pendekatan emosional, etika dan moralitas.

Di era komunikasi dan informasi saat ini, sudah sangat jarang kita temui orang yang mau bekerja dengan ikhlas untuk kepentingan orang banyak atau kepentingan bangsa dan negara. Penulis terkesan dengan kerendahan hati saudara-saudara kita yang masih memiliki hati untuk berbuat hal-hal yang bermanfaat, dan sebuah catatan kecil penulis kutip dari saudara Arie belougi bahwa 

"Semua kegiatan yang dilakukan manusia di muka bumi ini menjanjikan hasil namun belum tentu memberi suatu manfaat, dan semua hal yang bermanfaat dari kehidupan ini lahir dari sebuah ilustrasi dan matahari selalu hadir untuk menyinari jalannya. Dalam kaitannya dengan aktivitas soail, Arie Belougi berpendapat bahwa matahari selulu ada dibalik ilusstrasi pekerja sosial"

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada publik, tulisan berjudul Arie Belougi: Matahari di Balik Ilustrasi Pekerja Sosial ini bukan dimaksudkan untuk menjadi bahan perbandingan antara pendapat para ahli dan pendapat saudara Arie Belougi dalam hal "definisi pekerja sosial"  tapi mengurai dasar pemikiran saudara Arie Belougi dalam dua hal yaitu "Pekerjaan sosial sebagai subtantasi kegiatan" dan "Pekerja sosial sebagai subyek atau pelaku kegiatan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun