Sebagai bangsa merdeka yang sudah menjalani berbagai kurikulum yang berbeda-beda, waktu telah membuktikan bahwa ternyata beban materi pendidikan yang seabrek-abrek tidak serta merta membuat peserta didik menjadi kaum intelektual yang beradab. Bahkan, sering kali terjadi, tingkat pendidikan seseorang tidak sejalan lurus dengan adab dan moral yang baik. Banyak contoh yang terjadi, terbaru pada kasus penganiayaan sadis oleh Mario Dandy yang saat kejadian berstatus sebagai mahasiswa. Hal yang tentu menjadi pertanyaan, apa yang salah dengan pendidikan kita?
Ada yang hilang atau kosong dari pendidikan yang dijalani siswa beberapa waktu terakhir, yakni empati dan problem solving. Tak ada empati membuat generasi menjadi egois dan tak peduli dengan apa yang dialami dan dirasakan orang lain. Rendahnya kemampuan problem solving atau memecahkan masalah membuat keputusan atau tindakan yang dilakukan menjadi di luar kontrol dan akal sehat.
Satu lagi yang mungkin menjadi poin adalah kebahagiaan yang tak cukup diperoleh dari satuan pendidikan maupun di rumah. Bisa dibayangkan, gesekan-gesekan atau konflik di jalan raya atau dimana saja bisa dengan mudah ditepis bila orang-orang yang bersangkutan cukup bahagia, mudah memaafkan kesalahan orang lain. Bukan sebaliknya, memperbesar masalah dan menyelesaikan dengan cara fisik atau kekerasan.
Padahal, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara telah meletakkan pondasi pada konsep pendidikan bahwa sekolah adalah taman, tempat yang menyenangkan, bukan membebankan. Pendidikan menurut Ki Hajar adalah memberikan tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki oleh seorang anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat nantinya.
Kondisi yang sering terjadi selama ini, bahkan mungkin menjadi pengalaman bagi kita sendiri selama menjalani proses pendidikan di sekolah, yakni tertekan dan terbebani dengan materi pelajaran, ataupun saat berhadapan dengan guru atau siswa lainnya.Â
Beban dalam menjalani pendidikan menjauhkan pelajar dari esensi proses pendidikan sebagai taman yang menyenangkan seperti yang diusung Ki Hajar. Karena itu, 'bahagia' adalah proses yang hilang di satuan pendidikan dan menjadi satu poin yang harus dibenahi. Salah satu cara dengan tak membebani anak dengan banyaknya materi dan menciptakan lingkungan sekolah yang berbudaya dan beradab.
Kurikulum MerdekaÂ
Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim telah meluncurkan Kurikulum Merdeka untuk mendorong perbaikan kualitas dan pemulihan dari krisis pembelajaran. Menurutnya, setidaknya ada tiga keunggulan Kurikulum Merdeka, yaitu fokus pada materi esensial, sehingga guru tak lagi buru-buru mengajar dan lebih memperhatikan kebutuhan murid.Â
Murid pun tak terbebani dengan banyaknya materi. Kedua, memberi jam pelajaran khusus bagi pengembangan karakter melalui proyek penguatan profil pelajar Pancasila, dan ketiga, memberi fleksibilitas bagi sekolah untuk merancang kurikulum operasional sendiri dan menyesuaikan pembelajaran dengan tingkat kemampuan muridnya.
Kerangka Kurikulum Merdeka yang fleksibel bisa memudahkan sekolah, termasuk yang minim fasilitas dan berada di wilayah terpencil untuk merancang pembelajaran sesuai kebutuhan.
Bahkan khusus SMA, kurikulum yang baru menghapus penjurusan dan membebaskan peserta didik untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan minat dan rencana karir. Selanjutnya pemerintah akan merancang ulang skema masuk perguruan tinggi negeri agar sejalan dengan prinsip pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka.