Â
   Benar kata orang, kita adalah sepasang kata yang saling melupa. Terkadang aku sangat benci untuk menceritakan kembali memori yang sangat menghujum kalbu terdalam saat kuingat kisah pedih kala itu. Kisah yang membawaku pada ketidakpastian untuk menggapai kepastian. Aku kau buang dalam lubang kebohongan dan itu sangat aku benci. Perihal dirimu yang kupikir berarti, ternyata kamu adalah ketidakberartian itu sendiri. Andai tak ada kebohongan antara kita, mungkin saja aku tak pernah mengecap kepahitan yang tak terlukiskan kata dan terucapkan suara. Kalau memang benar aku mesti menerima diri sebagai insan yang harus terkubur dalam ruang bayang amor fati, singkatnya ucapan terima kasih tak perlu terungkapkan, sebab mengenalmu adalah kemungkinan yang telah aku semogakan. Walaupun memilikimu dalam waktu lama adalah ketakmungkinan yang sedang aku semogakan. Sungguh tragis engkau menyimpan semua ceritamu dibalik tirai kebohongan dan engkau membungkusnya dalam balutan keluguhan yang membuat aku percaya begitu saja. Tat kala waktu adalah saksi dan tahan semesta adalah sutradara, ingin saja kukutuk semua cerita yang hingga menembus batas ruang dan waktu ketika ada orang yang bertanya tentang dirimu. Menanggapi perihal dirimu, rasanya alam pikirku pun mati termakan kenangan belaka dan hatiku tertusuk panah pengkhianatan hingga mengalir darah penuh penyesalan. Semuanya kau atur sedemikian rupa tanpa cacat celah yang mesti kuperbaiki. Dan haruskah semua kisah kuceritakan sedini ini? Mengingat luka yang kau ciptakan begitu segar dan masih basah. Ah sudahlah, mungkin saja ini takdirku.
          ***
  Masih teringat bagiku tentang dirimu yang masih tersenyum penuh makna sehingga kata manis sendiri berktekuk lutut dan bagiku tak ada penawar untuk mengobati segala kekaguman yang hadir tanpa diundang. Seakan aku mampu menemukan dunia miliku sendiri. Dan kau tahu? Kehadiranmu yang tak terduga telah mengusik hatiku yang masih dini untuk menerima seorang. Dan kau pun mampu menembus sekat-sekat jeruji besi pada rasaku yag berprinsip tak ingin tersakiti walau tak pernah sekali pun merasakannya. Mengenal adalah kepastian, sebab itu adalah awal dari segala sesuatu untuk memiliki sesuatu. Apakah bertemu denganmu adalah kesalahan atau kebenaran? Jika memang salah, maka aku akan selalu merasa salah. Tetapi jika benar, maka semua kemampuan yang ada padaku akan dikerahkan untuk menggapai kebenaran itu. Dan kau hadir tanpa kuketahui akan apa akhir dari segala yang dirajuti. Akankah namamu perlu kusebutkan dalam kisahku? Biarlah itu menjadi rahasiaku. Sebab ini ceritaku dan terserah padamu untuk memberi tahu namaku pada kisahmu.
  Kala itu saat di penghujung bulan juni kau mengajakku pada suatu tempat yang asing bagiku. "Taman kenanga" kau beri nama tempat itu. Entah apa yang kau pikirkan tentang taman itu, rupanya kau butuh waktu untuk menjelaskan dan merangkumnya dalam kerahasiaanmu. Katamu, anatara aku dan kamu akan selalu bermekaran dalam rasa yang sama seperti bunga mawar merah yang tumbuh di tengah taman itu. Aku tak habis pikir, sebab kau ibaratkan kisah indah ini dengan bunga mawar merah yang tengah beradu mesra dengan mekarnya. Bagiku, "habis sendiri, terbitlah bersama" menjadi sampul kisah kita tanpa harus berpangkal pada bunga itu. Lantas bagaimana jadinya kalau bunga itu layu? Akankah kisah kita juga layu dengan membawa luka basah yang sejatinya membutuhkan waktu lama untuk kering? Namun aku tetap mencintaimu dalam diam tanpa harus mengutarakan pertanyaan itu saat kau beri nama tempat itu. Bahkan, kerapkali kau mengajaku selalu saat kita lelah berjalan-jalan bersama waktu, dan barang sejenak sembari bersyukur atas semua itu. Atau mungkin kamu tengah mempermalukan semesta dengan caramu mencintaiku, sejenak hanya kamu yang tahu.
  Tak terasa setahun lamanya bersamamu, dari mengenal sekejap sampai memilikimu di waktu yang begitu lama, kini aku diperhadapkan pada kenyataan jarak yang kembali melakoni diri sebagai pihak antagonis. Kau kembali mengajakku ke taman kenanga, sebab ada sesuatu yang mesti kamu ungkapkan kepadaku. Melihat kerinduan yang tak sampai, aku pun menyetujui kemauanmu.
  Sesampainya disana, aku disambut dengan dirimu yang berbeda. Dari diammu yang kadarnya melebihi manismu sendiri. Dan aku berprasangka buruk sesuatu telah terjadi. Lantas, kau mengajaku ke tengah taman sembari duduk di bangku panjang bewarna putih sebagai sandaran bagi raga kita ketika beradu kasih. Lama kau berdiam, membuat aku mengikuti alurmu dan hanya mendengar desiran angin yang berhembus dan burung berkicau melengking menambah suasana semakin tak karuan. Dalam hati, semoga firasatku tentang orang ketiga tak dibenarkan. Kurang lebih 30 menit berlalu, kau masih saja diam. Mungkin saja, mulutmu terasa kelu untuk bertutur dan amigdalamu tak mengijinkan kamu bersuara. Menunggu kata darimu menjadi pilihan utama bagiku, sebab tak ada cara lain yang kutemukan. Bahkan mulutku pun terasa keluh, walau tak kau ketahui.
"Sophia, mungkin ini berat bagimu?"Â
 Katamu dengan suara serak nan melankolis membuka obrolan senja itu. Mengapa tak kau tanyakan dulu kabarku selama sepekan yang telah berlalu tanpa adanya sebuah perjumpamaan. Kemana semua kata-kata romantismu yang selalu terlahir dari mulut manismu.
"Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti" Tanggapku.