Mohon tunggu...
Melati Taufanputri
Melati Taufanputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Melatii

Bio

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

KJA Offshore Bernilai Milyaran Merugikan Negara? Niat Untung Malah Buntung!

15 April 2021   11:55 Diperbarui: 16 April 2021   14:59 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan total potensi indikatif lahan marikultur Indonesia mencapai kurang lebih 12 juta hektar. Angka ini belum termasuk potensi lahan marikultur di lepas pantai (offshore). Artinya, potesi lahan marikultur Indonesia ini sangat luas dan berpotensi besar, namun potensi tersebut masih belum dioptimalkan.  Sejalan dengan seruan Presiden Jokowi, potensi laut Indonesia yang besar harus dimanfaatkan.  Apabila potensi ini dapat digarap secara maksimal, dapat diyakini akan mampu mendongkrak kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional. Maka dari itulah, Presiden Jokowi membantu mendorong pengembangan budidaya offshore (lepas pantai) di Indonesia seperti yang telah dilakukan negara-negara Eropa yaitu dengan meresmikan KJA offshore di Pangandaran pada 2018 lalu.

Namun rupaya, tahun 2018 menjadi tahun pahit yang harus ditelan oleh KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan). Sebab, pada tahun tersebut KKP harus menerima kenyataan tandasnya Keramba Jaring Apung (KJA) offshore buatan Norwegia.

Sebelum masuk ke pembahasan, mungkin ada yang bertanya, "KJA offshore itu apa, sih?"

Keramba Jaring Apung lepas pantai atau KJA Offshore adalah budidaya perikanan dengan penggunaan teknologi tinggi, modern dan berskala besar. Penggunaan teknologi KJA Offshore sendiri merupakan terobosan yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan mengadopsi teknologi budidaya dari Norwegia.

Untuk budidaya KJA Offshore dilakukan di lepas pantai atau laut terbuka yang minimal diatas 3 km dari garis pantai, dan memenuhi persyaratan teknis tertentu seperti kedalaman yang cukup, memiliki arus yang cukup (maskimal 1m/detik) dan tahan terhadap gelombang.

Di beberapa negara maju seperti Norwegia, Brasil, dan Meksiko, marikultur offshore telah mampu mendongkrak pendapatan negara melalui produksi perikanannya. Teknologi yang mereka kembangkan berupa KJA dalam bentuk floating, semi-submersible, dan submersible.

Perairan Pangandaran, Pulau Weh Kota Sabang, dan Perairan Karimunjawa merupakan lokasi yang dipilih oleh KKP untuk menempatkan KJA canggih ini. Jenis-jenis ikan yang dibudidayakan didalamnya yaitu ikan salmon, barramundi, kakap putih dan kerapu dengan alasan memiliki pangsa ekspor yang luas. Harapannya, budidaya lepas pantai (KJA) ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dengan membuka lapangan pekerjaan baru, meningkatkan produksi budidaya, pengembangan diversifikasi dan revitalisasi budidaya ikan laut, juga membuka peluang pemanfaatan lahan tambak. Mengingat Indonesia memiliki laut yang luas, ini merupakan langkah baik yang diambil pemerintah untuk mengoptimalisasi potensi tersebut.

Dengan menerapkan teknologi-teknologi yang canggih seperti Feed Barge/Commad, Ruang kontrol dan penyimpanan pakan, kapal kerja dan pengangkut yang dilangkapi dengan Crane serta kelengkapan pendukung lainnya seperti sistem mooring dan anchorage, sistem pembersih jaring, sistem monitoring jaring, sistem sensor lingkungan dan juga perangkat lunak, Pemerintah tidak tanggung-tanggung mengeluarkan biaya yang besar. Salah satu sumber menyebutkan, Proyek KJA offshore tersebut dibiayai APBN 2017 sebesar Rp 42 miliar per daerah.


Dengan total cost sebesar itu, tentu diperlukan riset dan pengamatan lokasi yang baik dan optimal. M. Zulficar Mochtar, yang menjabat sebagai Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) pada tempo itu menjelaskan, tim penyusun yang terdiri jajaran BRSDM KP, Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Budidaya, Ditjen Pengelolaan Ruang Laut sudah menentukan titik lokasi pembangunan KJA offshore dan sudah menyusunnya dalam naskah akademik. Dijelaskan juga bahwa penentuan titik ini mempertimbangkan aspek kelayakan fisik seperti gelombang, arah dan kecepatan arus, pasang surut, kekeruhan air, sampai sampel tanah substrat. Sedangkan secara kimiawi dilakukan pengukuran kualitas air.

            Lantas, kritera apa saja yang diperlukan untuk menganalisis layak tidaknya titik lokasi penentuan KJA tersebut?

            Berdasarkan hasil analisis Delphi pada penelitian Satrio Dwi Atmojo dan Putu Gede Ariastita dalam Jurnal Teknik ITS, terdapat 17 kriteria yang mempengaruhi lokasi Keramba Jaring Apung (KJA) offshore, yaitu suhu perairan, kecepatan arus, salinitas, oksigen terlarut, kedalaman laut, ketinggian gelombang, kadar keasaman, kecerahan, kecepatan angin, zat padat tersuspensi, jarak dari pantai (km), sosial ekonomi, resiko/bencana, sumber benih, kualitas air, kegiatan lain di sekitar KJA, dan rencana zonasi.

            Sayangnya, baru beberapa bulan setelah diresmikan dan belum sempat panen, KJA bernilai milyaran dengan teknologi canggih ini rusak. Harapan tiap lokasi mampu panen 945 ton, pupus. Usaha menebarkan ratusan benih jenis ikan yang dibudidayakan tidak membuahkan hasil. Teknologi Norwegia yang di klaim KKP memiliki sejumlah keunggulan, justru membuahkan hasil yang sangat menyimpang dari ekspetasi. Benih ikan ribuan ekor lepas liar, keuntungan tidak ada. Rugi telak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun