Melati Rachmania Putri (212111036) - HES 5A - UIN Raden Mas Said Surakarta
Tulisan ini merupakan book review dari buku yang berjudul "Ekonomi Syariah Dalam Dinamika Hukum Teori dan Praktik", karya Muhammad Julijanto, dkk. Melalui tulisan ini, saya akan me-review Bab II (halaman 45-68) dalam buku ini, yakni mengenai Regulasi Dalam Ekonomi Syariah, sebagai mahasiswa HES bab ini menarik perhatian saya untuk lebih mengetahui bagaimana Regulasi Dalam Ekonomi Syariah di Indonesia. Bab II ini dibagi ke dalam beberapa sub bab, antara lain: Efisiensi Birokrasi Penerbitan Sertifikat Halal di Indonesia; Regulasi Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Perkembangan Keuangan Syariah; dan Penyelenggaraan Hotel Syariah dalam Perspektif Fatwa DSN-MUI No.108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraa Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah.Â
- Efisiensi Birokrasi Penerbitan Sertifikat Halal di Indonesia
Seperti yang kita ketahui bahwasannya Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia dan Islam sendiri mewajibkan setiap umatnya untuk mengkonsumsi produk yang halal , sehingga memperoleh pangan halal adalah perwujudan dari hak konstitusional seorang muslim. Untuk itu maka akses bagi masyarakat muslim untuk mendapatkan pangan halal harus dijamin oleh negara sebagai perwujudan dari pelaksanaan hak asasi manusia. Dalam rangka mewujudkan hak tersebut, pemerintah sudah membuat peraturan mengenai produk halal yang tertuang dalam UU JPH No. 33 tahun 2014, diharapkan dengan dikeluarkan dan diberlakukannya UU tersebut kepentingan konsumen, khususnya konsumen muslim akan mendapatkan jaminan kepastian halal setiap makanan yang dikonnsumsinya. Hal ini disebabkan, di dalam UUJPH semua produk makanan, minuman, kosmetik, obat dan sebagainya yang beredar di masyarakat wajib bersertifikat halal. Sertifikat halal tersebut diterbitkan oleh BPJPH atas fatwa dari MUI yang menyatakan produk tersebut halal untuk dikonsumsi.Â
Pendaftaran sertifikasi halal ini tergolong mudah, dengan adanya perkembangan teknologi sekarang ini para pelaku usaha dapat mendaftar secara online melalui website http://ptsp.halal.go.id. Meski demikian, dalam realitanya masih banyak pelaku usaha yang tidak mendaftarkan usahanya ke BPJPH untuk mendapatkan sertifikasi halal. Bahkan untuk menarik perhatian pembeli, banyak pelaku usaha yang memalsukan logo halal, dimana usaha mereka belum mendapatkan sertifikat halal, tapi memasang logo halal. Selain itu juga ada beberapa pelaku usaha yang sudah mendapatkan sertifikat halal, akan tetapi setelah itu operasionalnya tidak sesuai dengan ketentuan produk halal (terjadi penyelewengan). Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan dari pemerintah yang dibantu oleh masyarakat untuk mewujudkan apa yang tertuang dalam UU JPH No. 33 Tahun 2004, dan juga untuk menciptakan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum bagi konsumen muslim terhadap produk yang dikonsumsinya.
- Regulasi Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Perkembangan Keuangan Syariah
Keuangan syariah di Indonesia dititikberatkan mengenai fungsinya sebagai media untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat. MUI, terutama Dewan Syariah Nasional sebagai lembaga fatwa telah mendorong perkembangan keuangan syariah Indonesia. Fatwa DSN MUI pada awalnya dikeluarkan untuk merespons permintaan dari masyarakat terkait produk keuangan syariah/sistem transaksi yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah berdasarkan hukum Islam.
Kehadiran fatwa DSN MUI tidak saja memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan praktisi, tetapi juga mendorong pertumbungan keuangan syariah di Indonesia. Menurut laporan OJK, pertumbuhan keuangan syariah jika lihat dari total assetnya mencapai sebesar Rp, 2.050.044 triliun atau US$143.70 miliar (di luar saham syariah) berdasarkan kurs tengah BI per Desember 2022 Rp. 14.269,01/US$.
Berdasarkan deskripsi di atas, fatwa DSN MUI telah berperan sesuai dengan status dan fungsinya, yakni sebagai salah satu sumber hukum Islam dalam praktik keuangan syariah telah memberikan arahan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan praktisi. Namun, Fatwa DSN MUI ini dalam posisinya tidak bersifat mengikat (opsional), oleh karena itu perlu dilakukan regulasi ke dalam peraturan-peraturan yang bersifat mengikat, agar menjadi wajib ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat. Beberapa bentuk regulasi fatwa DSN MUI antara lain: regulasi dalam bentuk undang-undang, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Peraturan OJK dan Surat Edaran OJK, Peraturan Pemerintah/Menteri perkoperasian dan UMKM, dan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Menteri Keuangan.
Regulasi fatwa DSN MUI melalui enam bentuk tersebut merupakan upaya pemerintah dalam mengatur keuangan syariah secara positivistik. Selain itu, regulasi pemerintah diharapkan dapat mendorong pertumbungan ekonomi syariah di Indonesia dan dalam relasinya dengan ekonomi Islam dunia, serta untuk menjamin kepentingan pemerintah dan masyarakat. Selain itu, regulasi fatwa DSN MUI dapat dimaksudkan untuk memberikan kekuatan legalitas yang pasti dan mengikat dan kepentingan praktis sosial kemasyarakatan.
- Penyelenggaraan Hotel Syariah dalam Perspektif Fatwa DSN-MUI No.108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah
Moment liburan adalah hal yang ditunggu-tunggu bagi semua orang, dimana mereka dapat menghabiskan waktu bersama keluarga, baik dirumah atau travelling. Hotel merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan jika ingin berlibur dalam kurun waktu beberapa hari. Bagi seorang muslim fasilitas dan menu makanan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam memilih tempat. Hotel Syariah merupakan pilihan yang tepat bagi seorang muslim, karena mempunyai beberapa ketentuan sebagaimana termuat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.108/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Syariah, sebagai berikut:
- Aspek produk. Menyediakan fasilitas umum yang dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, ketersediaan tempat ibadah, perlengkapan ibadah, baik di tempat umum maupun di kamar, interior nuansa islami, makanan dan minuman halal, tidak menyediakan minuman beralkohol, dan tidak menyediakan tempat hiburan yang mengarah pada kemaksiatan, asusila, dan kemusyrikan.
- Aspek layanan. Menerapkan 3S (sapa, senyum, dan santun) dalam menerima tamu hotel. Kontrol tamu, dimana untuk menghindari perzinaan pihak hotel tidak menerima tamu beda jenis yang bukan mahramnya dalam satu kamar dan setiap tamu non muslim harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh hotel.
- Aspek Pengelolaan. Semua pengelola hotel harus berpakaian sesuai dengan syariah, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal transaksi pihak hotel syariah menggunakan jasa keuangan syariah.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut diharapkan dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para tamu hotel.
Di Indonesia sendiri, khususnya Solo sudah banyak hotel berlabel syariah, namun dalam kegiatan operasionalnya masih ditemukan beberapa yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah, misalnya makanan dan minuman yang belum mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH dan  MUI. Oleh karena itu, dalam hal ini perlu adanya pengawasan yang lebih dari pemeritah maupun masyarakat, agar jika ditemukan ketidaksesuaian dalam operasionalnya bisa ditindaklanjuti. Sehingga bisa memberikan rasa aman dan nyaman bagi para tamu hotel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H