Hari ini aku berangkat untuk mereka. Tidak ada korban meninggal tapi korban ditinggal sepertinya lebih banyak.Â
Para petugas kepayahan menangani diri mereka sendiri menghadapi nestapa yang belum juga mencium kesudahan.Â
Maka yang lain hanya diam membenarkan letak selimut para korban. Lainnya sibuk meringkuk di depan periuk karena dingin tapi harus memastikan nasi masak. Korban juga lapar, kata mereka.
Beberapa korban kehilangan tangan. Entah ditimpa apa, mereka tidak mau mengingat. Kami tidak mempermasalahkan, yang buruk memang akan ditelan paksa.
Kemudian matahari menyembul lagi. Menimpakan sinar kepada karung-karung beras yang melongo menunggu beras-beras baru. Kami kehabisan makanan. Mana pasokannya?
Beruntun dan banyak sepertinya sudah sepakat. Tiba-tiba daftar korban meninggal memanjang hingga ke tanah.Â
Kami kehabisan pena, jangan ada lagi yang lain untuk dicatat.Â
Jika duka bisa mengucap sumpah untuk menikahi kesedihan, pasti di tempat ini sudah ada banyak anak duka-kesedihan yang tidak jelas jenis kelaminnya.Â
Kami sungguh penat. Kami ingin pulang dan memeluk anak-anak kami yang katanya sudah dipelihara negara.Â
Namun itu hanya kata pasal 34 undang-undang. Mereka sendiri yang mengesankan jika janji tidak perlu bertemu nyata untuk diundang-undangkan.Â
Besok seharusnya hari terakhir. Namun tidak ada tanda-tanda sudah. Sepertinya duka dan kesedihan sudah menikah.Â
Namun puluhan karung beras tiba-tiba datang. Menyambangi kami dengan wajah-wajah orang bersanggul mengacungkan jempol pada tiap senti karungnya. Kami mengambil beras kemudian mengencingi karungnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H