Upaya pemunculan isu itu dapat dijelaskan seperti ini. Jika saya menjual sebuah rumah sementara ada orang lain yang tengah menjual rumahnya, lalu saya mengatakan bahwa rumah itu bekas pembunuhan, patutnya saya dicurigai. Sebab saya juga sedang menjual rumah. Saya mempunyai kepentingan disitu.
Dengan adanya isu bahwa rumah itu adalah rumah bekas pembunuhan, saya berharap pembeli akan meminta perlindungan (membeli rumah yang lebih aman) kepada saya. Maka bila ada tokoh berpengaruh melabel tokoh lain dengan sebutan PKI, maka kita patut tahu apakah dia sedang menjual rumah atau tidak.
Maka bila mendengar suatu pernyataan mengenai hal-hal yang krusial, kita bisa melihat terlebih dahulu apa kepentingan yang dimiliki si pembawa pernyataan. Orang yang tidak memiliki keterkaitan dengan isu itu (dalam artian tidak akan diuntungkan atau dirugikan apapun faktanya), akan lebih aman untuk didengarkan pendapatnya.
Anggota militer yang dididik untuk tidak mempertanyakan instruksi akan berguna saat mereka sedang ada dalam situasi mendesak. Pada konteks ini, dibutuhkan satu suara dengan semua tenaga untuk bisa mencapai tujuan atau semisal, untuk bertahan hidup di medan perang. Namun apakah sifat seperti itu relevan dengan kehidupan sehari-hari? Apalagi kehidupan sekolah?
Sekarang mari kita bayangkan betapa hebatnya teman saya itu jika ia hidup sezaman dengan Big Brother, menjadi stafsus millenial dari Ministry of Truth misalnya.