Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rumah Kami Sudah Digadaikan

16 Maret 2021   17:57 Diperbarui: 16 Maret 2021   18:03 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rumah kami sudah digadaikan. Tapi pemilik barunya menyuruh kami untuk tetap tinggal. Kami tidak lagi mengenali apa itu menyapu, memasak, menyirami bunga, apa-apa kami lakukan untuk menyenangkan hati si pemilik rumah baru.
Kadang sikat toilet pun kami pakai untuk makan, jika kiranya itu membuat pemilik rumah suka. Semuanya aneh. Aku tidak tahu siapa lagi yang masih waras di dalam rumah. Tidak ada yang menanyakan mauku, mereka hanya menggumamkan ingin pemilik baru yang menjelma menjadi ingin mereka juga.
Tidak penting bagaimana rasa nasi yang mencium papila-papila lidah, yang penting bahwa mata pemilik rumah baru terkenyangkan dengan pemandangan indah: manusia-manusia pengemis yang mulutnya penuh lumpur kuning yang sudah pernah keluar dari lubang belakangnya.
Aku masih waras. Sialnya, aku masih waras. Aku berharap aku tidak waras agar inginnya pemilik rumah dengan ringan kuiyakan, seperti mereka yang tidak peduli bagaimana sapu-sapu rumah tiap hari mengenai badanku (atau memang sengaja, aku tidak pernah tahu).
Aku ingin tidak waras saja agar enak lidahku menjilati pinggiran toilet yang kata pemilik rumah baru perlu dibersihkan dengan sikat-sikat lidah manusia. Aku ingin tidak waras saja. Aku ingin.
Aku tidak pernah sangka ingin bersekutu dengan sudut rumah yang biasanya hanya kusambangi ketika menahan hajat saat kecil. Sudut rumah masih tetap dingin dengan sarang laba-labanya, hanya saja ia bisa mendinginkanku dari panasnya keringat mereka yang termasak nafsu ingin tetap tinggal di rumah pemilik baru. Lupa bahwa harusnya mereka melihat di genggamannya ada segepok uang yang cukup untuk menempati rumah yang lebih kecil.
Aku tidak pernah menyangka keringat manusia bisa semendidih ini. Tiap hari harus kuusapkan badanku pada sudut rumah agar termometer tidak menjerit tiap kali menyentuh ketiakku.
Aku berangkat lagi, rumah busuk. Bukan hanya untuk meminta apa yang perlu kupunya, tetapi memaklumi rumah keparat ini akan ketidakrinduanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun