Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Arus yang Tidak Harus Menghanyutkan

2 Desember 2020   15:38 Diperbarui: 2 Desember 2020   15:49 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa waktu lalu saya baru sempat mencicipi apa yang sudah terkenal sejak dua atau tiga tahun ke belakang, minuman boba. Itupun dari hasil tegukan gelas teman saya.

Saya terlalu tidak penasaran untuk mencoba makanan baru entah kenapa. Rasanya? Saya berani bersumpah itu hanyalah jenang grendul dengan bungkus kebaruan ala anak muda yang disaring dengan saringan bulat, titik.

Tidak berarti tidak punya nilai jual, tetapi ide orisinilnya saya rasa tidak ada. Tidak masalah juga sebetulnya, hasil modifikasi pun bila lebih baik, siapa yang akan mempermasalahkan? Masalahnya adalah saya tidak suka jenang grendul. Hanya itu. Sejak kecil, kala ibu saya pergi ke pasar, saya akan meminta untuk dibelikan jenang tetapi tanpa tambahan isian itu.

Saya juga tidak berniat mengolok orang yang menyukai apa yang sedang trend, itu tidak masalah sama sekali bagi saya. Yang membuat saya penasaran adalah, apakah para penyuka trend itu betul-betul menyukai barang itu karena komposisinya atau mereka merasa perlu menyukai agar tidak ketinggalan arus

Pernyataan 'mengikuti arus' tidak mengandung konotasi positif atau negatif, tetapi justru itulah yang membuka peluang bagi hal-hal lain untuk masuk tanpa disadari. Sebab tidak semua arus patut diikuti atau bahkan sekadar dicoba ombaknya.

Salah satu yang mengusik saya adalah cara berhijab dengan memperlihatkan telinga dan leher yang saya tidak tahu sedari kapan ramainya. 

Berpuluh bulan yang lalu, saya tidak sengaja berpapasan dengan seorang perempuan di kampus, yang mana ia sedang mengenakan hijab model itu dan membuat saya berpikir, yang dikenakan perempuan itu, apakah benar hijab atau kami punya dua definisi berbeda tentang hijab?

Masalahnya di sini adalah saya hanya bisa berasumsi bahwa definisi kami tentang hijab adalah sama. Maka apa yang dikenakan perempuan itu adalah betul sebagai sebuah atribut agama. Namun mengapa atribut agama itu terlihat tidak berfungsi?

Saya tahu, argumen saya akan dengan cepat disanggah dengan mengatakan bahwa itu bukanlah atribut agama. Bisa saja ia akan mengartikan itu sebagai aksesoris yang tidak harus memiliki fungsi spesifik layaknya atribut agama. 

Namun, mari secara bijaksana kita akui, modifikasi dari apakah aksesoris yang melingkari kepala itu? Tentu dari hijab yang semula menutup apa yang selanjutnya dibuka oleh barang yang katanya aksesoris itu.

Ada pula satu trend lagi baru-baru ini, yang ini lebih mild dari yang saya sebut di atas. Yaitu mengenakan jilbab pasmina dengan mengancingkan jilbabnya lebih mundur dari biasanya, membuat jilbab itu punya ruang longgar di dekat hair line, sehingga mereka yang tidak mengenakan ciput akan membiarkan rambutnya mengintip dunia luar dengan seksama dan dalam tempo yang sebebas-bebasnya.

Haruskah saya memberi pernyataan bahwa saya juga belum sempurna, agar apa yang saya katakan ini akan lebih diterima? Jika saja manusia harus melengkapi dirinya sebelum mengatakan yang benar dan yang salah, akankah tuhan menyuruh manusia untuk saling bertegur bila di antaranya ada yang salah?

Saya sepenuhnya percaya bahwa saya, mereka, siapapun di sudut bumi manapun berhak mengenakan apa yang mereka ingin. Saya tidak akan menyuruh para perempuan yang otoritasnya di bawah saya untuk menandatangani surat bermaterai berisikan pernyataan akan mengenakan jilbab, seperti yang guru SMA saya lakukan dulu.

Konsekuensinya, jika mereka berhak mengenakan apapun, saya juga berhak mengatakan ketidaksetujuan apapun. Toh saya tidak memaksa mereka menyetujui omongan saya.

Asal mereka tahu bahwa tidak semua trend wajib diikuti karena trend tidak mengandung dan melahirkan nilai-nilai yang patutnya sudah kita pegang. Asal mereka tahu pula bahwa bukanlah sebuah kewajiban untuk menunjukkan siapa kita dengan cara berenang melewati arus trend tanpa perlawanan sama sekali.

Sebab sejujurnya hal ini berangkat dari kerisihan saya ketika ditunjukkan segala sesuatu yang harusnya mereka tunjukkan karena mereka suka, tetapi mereka hanya menunjukkan itu karena manusia-manusia lain yang tidak mereka kenal dan tidak penting bagi hidup mereka juga tengah mengenakannya. Itu tidak masuk akal bagi saya. Kecuali bila mereka dibayar untuk itu atau sedang melakukan riset pasar, tetapi keduanya pun tidak.

Saya mengenal konsep libertarian, sedikit mengamininya tetapi kemudian tidak yakin apakah saya bagian darinya karena saya suka mengamati apa yang terjadi dan dengan hasil pengamatan itu tampaknya saya tidak akan diam saja dengan tidak berkomentar.
Uhmm, kecuali bila itu keputusan pribadi yang kiranya tidak akan mempengaruhi banyak orang secara masif.

Akhirnya pada baris kalimat ini saya akan kembali meletakkan asumsi bahwa mereka sudah punya nilai-nilai yang dipegang ketika menyaring apa yang menurut mereka "baru" itu serta berharap ada kesadaran bahwa mungkin dengan mengikuti trend, mereka juga sedang jadi korban konsumerisme, siapa yang tahu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun