Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Kenapa Menyesal?

27 November 2020   06:19 Diperbarui: 27 November 2020   06:26 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Saya sering mendengar penyesalan orang lalu lalang di kuping. Mulai dari penyesalan kecil seperti tidak mematikan lampu, menyesal karena meninggalkan kunci rumah hingga penyesalan skala lebih besar yang bersifat mengubah hidup. 

Namun satu hal yang tetap saya yakini saat mendengarkan orang-orang itu menyesalkan sesuatu: saya tidak akan menyesal dengan yang sudah maupun yang belum terjadi di hidup saya.

Kemarin saya tidak berpikir untuk menuliskan ini, tetapi kemudian saya mendengar salah seorang tokoh publik membicarakan tentang penyesalan dan saya cukup terpicu karenanya.

Bertahun-tahun lalu ketika saya memutuskan untuk meninggalkan segala celah penyesalan, saya hanya melakukannya karena penyesalan rasanya sangat tidak enak. 

Saya bisa berdamai dengan rasa sedih, marah, benci ataupun rindu dengan siapapun, tetapi sesal adalah yang paling membuat hati saya terasa sempit.

Namun kemudian ketika saya lebih tua (jika tidak ingin menyebut dewasa), saya sadar bahwa apa yang saya hindari karena "rasanya yang tidak enak" itu adalah sesuatu yang lebih besar dari kelihatannya. 

Saya sadar bahwa memang seharusnya manusia tidak pernah menyesali satu jengkal pun langkah kaki mereka meski pada akhirnya mereka tahu itu jalan yang salah.

Siapa yang tidak tahu bahwa manusia adalah ladangnya kesalahan? Tetapi berapa banyak yang paham bahwa tidak menyesali kesalahan adalah salah satu cabang pemahaman itu?

Saya pernah dekat dengan seorang lelaki yang jika dihitung-hitung, lebih banyak mendistraksi saya dari apa yang saya dapat lakukan alih-alih mendorong saya untuk berkembang. 

Jika saja saya tidak bersamanya saat itu, mungkin saya sekarang sudah punya lebih banyak hal di kepala saya. Kurang lebih seperti itu versi yang lebih akrab di telinga.

Hanya saja saya paham bahwa tuhan sedang mengarahkan saya untuk mempelajari berbaris-baris hal yang harus dihindari ketika berhubungan dengan seseorang hanya dengan mempertemukan saya dengan satu orang.

 Saya tidak perlu terlalu sering singgah di kapal orang, satu kapal saja cukup dan itu hemat waktu, jika dipikir-pikir.

Juga ketika banyak orang menyesalkan pandemi yang membekukan kegiatan kampus selama berbulan-bulan. Beberapa dari mereka menyumpah karena masa studinya yang melentur hingga menyentuh angka di luar masa wajar ketika saya malah sangat menikmati duduk manis di depan layar laptop, menulis blog yang saya tinggal berbulan-bulan atau membaca buku yang tidak pernah terpikir untuk saya baca sebelumnya.

Bagi saya, pandemi mendatangkan lebih banyak kebaikan. Saya tahu bahwa ternyata ada beberapa orang yang menyukai tulisan saya, saya mendapat seorang kritikus karya yang darinya saya bisa membaca cerita fiksi yang bagus dan gratis.

Tuhan menyediakan toko kacamata di berbagai sudut kota agar kita mendatanginya dan melihat dunia dari berbagai lensa yang berbeda. Sayangnya, jangankan pergi ke toko kacamata, mengetahui bahwa ada toko kacamata saja tidak semua orang bisa.

Jika kembali ke beberapa tahun lalu, saya mengurutkan beberapa pola yang sama. Dari sekolah dasar, saya duduk di institusi yang bisa dianggap institusi nomor dua. 

Lulus dari situ, saya masih ada di institusi nomor dua dan sampai di perguruan tinggi pun masih sama. Padahal yang saya lihat, anak-anak lain dengan nilai Ujian Nasional yang sama atau bahkan lebih rendah dari saya malah ada di institusi yang lebih bergengsi. Bisa dikatakan institusi yang masuk klaster nomor satu.

Untuk yang satu ini, saya masih mencoba mengunyah dan menelan pelan-pelan. Prinsip saya masih sama, saya tidak akan menyesali fakta itu. Saya hanya iri, mungkin itu. Saya hanya belum melihat jalan di ujung lorong, mungkin itu. Sebentar lagi mungkin saya akan melihatnya.

Bagaimanapun, saya rasa orang yang menyesali sesuatu di hidupnya itu seperti meniadakan jembatan yang mengantarkan dirinya ke tempatnya berdiri sekarang. 

Dia tidak akan mungkin sebaik sekarang jika terus menerus melakukan sesuatu yang benar tanpa belajar sedikitpun. Bahkan kebenaran saja butuh keburukan agar benarnya terlihat jelas.

Namun, sebentar, bukankah ada pula narasi yang mengatakan bahwa menyesali kesalahan adalah syarat bagi perbaikan diri?

Mungkin bagi sebagian orang, menyesali kesalahan akan membuat orang itu terpacu untuk menghindari hal itu mati-matian. Bukankah pula dalam agama, syarat sah taubat adalah menyesali perbuatan itu?

Sebetulnya, ketika saya melakukan kesalahan, saya akan senang dengan perbaikan yang saya lakukan setelahnya. Perbaikan setelahnya itu yang berasa sangat bagus ketika disandingkan dengan kesalahan sebelumnya.

Namun dalam konteks perbaikan diri, saya menerjemahkan penyesalan di atas sebagai sebuah upaya menghindari lubang yang sama, tidak lebih. Saya enggan mengulanginya pada masa sekarang, tetapi merasa bersyukur karenanya.

Bukan rasa sesal yang dapat diartikan sebagai dialog opera sabun semacam, "Andai waktu dapat berputar kembali, aku tidak akan melakukan hal bodoh itu", tetapi saya lebih suka dialog film realistis semacam ini, "Jikalau waktu dapat berputar kembali, saya akan dengan sangat sadar melakukan kesalahan itu lagi di masa lalu".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun