Jangan-jangan hanya cermin yang membedakan manusia dan hewan, bahwasanya pembedanya hanyalah fisik siapa peduli. Asal manusia membaca buku, berdiskusi, menerbitkan tulisan di jurnal bereputasi tinggi bagi sebagian terpintar, maka premis manusia bukanlah hewan sudah terbukti. Lupa fakta bahwa manusia bukan hanya mengelola uang yang ada di kantongnya, melainkan mengelola bumi seisinya.
Sayangnya memaknai bumi saja belum mampu. Bahwa bumi hanyalah tanah dengan pohon dan rumah diatasnya adalah benar, menurut anak sekolah dasar. Tapi pantaskah para orang dewasa juga memaknainya serupa?
Tunggu, bahkan memaknai bumi sebagai tanah saja masih banyak penyimpangan. Tanah dilubangi, emas dikeruk, tanaman ditumbuhkan dan dicabut atas nama uang yang sebenarnya telah tertumpuk. Lantas membenarkan pendirian taman-taman yang nilainya tak seberapa. Berdalih sudah impas karena telah mengkompensasinya dengan taman.
Pemaknaan sempit yang mereka buat sendiri saja susah untuk dijalankan. Mau memaknai bumi sebagai tempat tinggal makhluk hidup? Makhluk hidup yang mana? Yang tubuhnya juga sedang ditempati oleh nyawanya?
Bahwa eksistensi manusia lain hanyalah seperti pilihan barang dalam toko yang dapat menjegal dirinya untuk dibawa pulang oleh calon pemilik? Atau manusia lain dipahami sebagai bahan gunjingan di tongkrongan?
"Kenapa laki-laki lain pula yang mengajaknya pergi? Bukankah kemarin bukan itu? Apa dia menyewakan tubuhnya?"
Aktivis lingkungan biarlah berdiri diantara para perusak lingkungan, bagaimana bila yang lain menyadarkan sisa-sisa manusia ini untuk memahami cara memanusiakan manusia lain?
Sebab nyatanya, kerusakan yang dapat timbul bukan sekadar hutan gundul yang membuat para monyet lari ke perkampungan. Rusak dan toksisitas manusia juga memakan sisa hidup mereka untuk mempermasalahkan hidup yang lain. Â Alih-alih memahami apa yang terjadi di republik tempat mereka tinggal, mereka lebih suka mempelajari bahasa baru pergunjingan.
Mengucapkan kata-kata lancang dan tidak pantas tanpa ada urgensi yang dibenarkan tentu dapat menghancurkan produktivitas. Bayangkan bila seorang pekerja di bidang pangan mendapat masalah karena mulut manusia lain, suasana hatinya tidak baik dan makanan yang dijaga kualitasnya malah meleset dari standar.
Seorang guru yang mendapat ucapan tidak enak dari rekan atau tetangganya kemudian kehilangan hasrat mengajar siswa pada hari itu, sedang ia akan mengajarkan poin pelajaran penting yang akan digunakan siswa itu untuk mendapatkan pekerjaan. Memaksakan diri untuk mengajar? Sudah tentu. Tapi jangan bicara soal kualitasnya.
Banyak sekali yang dapat dipelajari dari sekeliling kita. Termasuk fakta bahwa hal sekecil tas orang saja bisa jadi bahan pergunjingan. Kadang saya berterimakasih kepada beberapa kawan yang menggunjing di depan telinga, terimakasih karena telah memberitahu bahwa hal seperti itu nyatanya dapat digunjing.