Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ada tapi Tak Perlu Ada: Sekolah Favorit dan Anak Emas

15 Juli 2020   11:10 Diperbarui: 15 Juli 2020   11:19 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Keniscayaan ketika seorang siswa memasuki kehidupan sekolah adalah menjadi siswa dari sekolah favorit. Terlepas dari apakah siswa benar-benar dapat masuk ke sekolah favorit atau tidak, sekolah favorit adalah harapan bagi siswa dan orang tua manapun.

Tentu pula bukan hal asing ketika kita mendapati seorang siswa yang mati-matian masuk ke sekolah favorit dengan mengikuti bimbingan belajar disertai dengan durasi belajar yang panjang. 

Tapi apa jadinya bila siswa itu, atau anda sebagai pembaca, tidak dapat masuk ke sekolah favorit yang diinginkan? Apakah masuk ke sekolah nomor dua adalah pilihan terakhir? 

Nyatanya sekolah favorit adalah sekolah yang mendapat sorotan mata lebih banyak daripada sekolah yang uhm, kurang favorit. 

Siswanya yang pintar, regulasi sekolah yang bagus serta prospek masa depan yang cerah menjadi paket kombo yang membuatnya (mungkin) sampai terbawa mimpi. Tentu semua itu adalah konsekuensi dari performa belajar yang bagus, track record dari alumni yang membanggakan serta mindset pemenang, yang saya yakin tidak dimiliki semua siswa di semua sekolah. 

Masalahnya, saya yakin tidak semua orang menyadari mengapa hal itu bisa terjadi. Memang benar bahwa andil guru yang berkualitas, fasilitas belajar yang baik dan keistimewaan lain juga menjadi faktor. Tapi bukan itu persoalannya. 

Beberapa tahun lalu ketika saya duduk di kelas 8 sekolah menengah pertama, sekolah saya sempat mengadakan satu kelas istimewa yang disebut kelas olimpiade. Kelas itu terdiri dari anak-anak dengan nilai ujian nasional minimal 8 dan dapat ditebak dari namanya, kelas itu digadang-gadang akan menjadi tim olimpiade pada setiap perlombaan.

Meski kelihatannya mentereng dan tidak merugikan siapapun, saya sempat memprotes (dalam hati) keberadaan kelas olimpiade yang tingkatannya tepat dibawah saya itu. 

Ide yang benar-benar masih bayi itu tidak saya setujui karena saya berpikir bahwa pengelompokan kelas berdasarkan kepintarannya hanya akan menyudutkan siswa yang kurang pintar dan membuat mereka meyakini bahwa mereka kurang diapresiasi. Oleh karena itu, giat belajar adalah sia-sia karena toh juga mereka sudah dikotak-kotakkan pada kelas bawah. 

Yang saya tidak sangka adalah bahwa pemikiran saya itu ternyata sudah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. Adalah Pygmalion Effect yang merupakan suatu fenomena dimana bila seseorang percaya bahwa, misal, si A adalah siswa berbakat maka A akan memiliki performa yang lebih baik jika dibandingkan dengan B hingga Z yang tidak mendapat stimulus lebih dari orang tersebut. 

Begini ilustrasi konkretnya, si A yang dipercaya berbakat dalam hal eksakta sangat disayang oleh guru matematika. Ketika si A membuat kesalahan dalam perhitungan, sekecil apapun, guru akan memperbaikinya dengan senang hati. 

Dengan senang hati pula guru memberikan saran yang tidak ia berikan kepada siswa lain karena menganggap bahwa sarannya akan lebih berguna jika dialamatkan kepada A dibandingkan dengan seluruh isi kelas. Mari kita lihat apa yang terjadi jika B yang membuat kesalahan perhitungan. Guru akan menganggap itu dikarenakan B tidak berbakat.

Kira-kira jika anda adalah gurunya, apa yang anda lakukan? Tentu anda tidak akan sebersemangat ketika mengoreksi A, bukan? Sehingga stimulus yang diberikan kepada A pun terbilang lebih istimewa dari anak lain yang dianggap tidak sepintar A. 

Lalu, bagaimana dengan A? Karena A merasa diapresiasi dan dianggap berbakat oleh guru, maka ia belajar lebih giat. Sehingga ia juga memberikan "respons" akan stimulus yang diberikan oleh guru yakni berupa nilai yang lebih tinggi. 

ang guru yang melihat kinerja A akan memberikan apresiasi yang lebih lagi, si A membuat guru lebih senang dengan nilainya, dan seterusnya. Terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan disini. 

Pertanyaan lain, seberapa sering anda menjumpai hal seperti ini? Saya bertaruh jika anda telah lulus atau masih ada di sekolah menengah, hal ini bukan hal asing bagi anda. 

Sepertinya fenomena ini pula yang menjelaskan mengapa anak emas di sekolah cenderung memiliki progres yang bagus jika dibandingkan dengan teman sebayanya, yang dipercaya tidak sepintar si anak emas.

Pun begitu dengan sekolah favorit. Jika anak emas adalah skala kecil, sekolah favorit adalah skala yang lebih besar. Sebab yang dinomorduakan bukan lagi individu tetapi institusi sekolah lain. 

Baik, lalu apa yang salah dengan itu? Bukannya hal itu menguntungkan? Siswa yang tidak unggul dalam hal akademik pun punya bakat lain. Benar, tapi jika mereka punya bakat lain diluar akademik lalu mendapat skor yang bagus pada bidang akademik, bukankah lebih menguntungkan? 

Selain mengkritik tindakan menganakemaskan seorang anak berbakat, bagaimana bila tulisan ini juga diartikan sebagai anjuran untuk menganakemaskan semua anak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun