Seorang TKW ditemukan tewas. Seorang TKI disiksa majikannya dengan setrika. Seorang TKW Indonesia di luar negeri diperkosa dan kemudian dibunuh oleh majikannya sendiri. Seorang pekerja Indonesia di luar negeri tidak bisa dikenali lagi jenazahnya saat dikirimkan kembali kepada keluarga.
Itulah yang bertahun tahun ini sering saya lihat di televisi mengenai ibu, anak, wanita, pria yang mencoba bekerja halal dan telah menjadi pahlawan devisa untuk kita.
Dan siang hari kemarin, inilah yang saya dengar LANGSUNG dari mulut Imas Tati, TKW 23 tahun yang jatuh dari lantai 2 suatu pagi buta saat mencoba melarikan diri keluar jendela rumah majikannya :
“Pejabat di Indonesia tidak bisa merasakan betapa beratnya menjadi TKI. Bekerja tanpa mengenal waktu, tidak bisa istirahat, ingat anak di rumah, dan harus berjuang sendiri melawan majikan yang sering kali hendak memperkosa. Tetes keringat saya, saksinya bahwa TKI sangat menderita...saat orang lain pulang kampung membawa kebanggaan, saya dikucilkan, berjalanpun saya sudah tidak bisa normal sekarang ... “
Dan betapa patahnya hati Imas Tati begitu mendengar pendapat dari KETUA SATGAS TKI (dan mantan menteri agama) Bapak Maftuh Basyumi mengenai kejadian yang kerap menimpa para TKI kita sbb:
“kekerasan yang dialami pekerja migran banyak terjadi karena bersumber dari sikap dan perilaku pekerja migran itu sendiri, khususnya perempuan pekerja migran. Mereka, antara lain, bersikap genit, nakal, dan melakukan pergaulan bebas selama di luar negeri “
Sahabat, sebagai penyambung lidah Imas Tati, mohon tandatanganilah petisi yang bisa dilihat disini :
http://www.change.org/id/petisi/bukankah-seharusnya-dia-membela-mereka-supportimastati
agar Beliau yang seharusnya menjadi seorang penjaga dan membela apapun yang terjadi dengan pekerja kita di luar meminta maaf kepada keluarga TKI atas pernyataannya yang jelas menyakiti, dan tidak memiliki dasar kebenaran apa pun. Keluarga yang mungkin anak, ibu, kakak, mereka sudah pulang dalam kantung jenazah atau sedang menanti nasib hidup mereka di negara jauh...
Dengan permintaan maaf ini, bukan hanya Pak Maftuh, namun wakil rakyat lainnya dapat memahami bahwa mereka tidak bisa berbicara seenaknya, tanpa dasar, tanpa empati.
Salam,