Mohon tunggu...
Melani
Melani Mohon Tunggu... Lainnya - Nothing

Still nothing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kurikulum Merdeka - Merdeka Belajar sebagai Sarana Pemberdayaan Keterampilan Mahasiswa

23 Mei 2022   22:14 Diperbarui: 23 Mei 2022   22:16 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam setiap pembelajaran sudah pasti membutuhkan sebuah landasan yang akan menjadikan kegiatan akademik menjadi lebih terarah dan mencapai tujuan sesuai dengan apa yang direncanakan. 

Dalam pendidikan, seluruh dunia mempunyai suatu sistem pembelajaran dan kurikulum yang berbeda dengan kebijakan yang diterapkannya berbeda pula oleh masing-masing negara. 

Kurikulum adalah jantung pendidikan karena kurikulum sangat mewarnai konstruksi dan wajah pendidikan suatu masyarakat dan dapat menjadikan sebuah landasan pendidikan yaitu untuk menjadikan sebuah fondasi yang di atas sebuah bangunan, pikiran-pikiran abstrak yang dijadikan titik tolak atau titik berangkat bagi pelaksanaan kegiatan, dan pandangan-pandangan abstrak yang telah teruji yaitu kurikulum digunakan sebagai titik tolak dalam menyusun konsep, pelaksanaan konsep, dan evaluasi konsep.[1] Jadi, dengan kurikulum dapat dijadikan berbagai macam sumber dalam pelaksanaan akademik.

 Di Indonesia itu sendiri telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum dari awal berdirinya sekolah-sekolah sampai saat ini. Perubahan-perubahan kurikulum tersebut mencakup pengembangan dari apa yang sudah diterapkan sebelumnya menjadi lebih menyesuaikan lagi dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk terselenggaranya akademik yang semakin efektif dalam perkembangan keterampilan peserta didik. Kurikulum pada saat ini memiliki konsep baru yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem, yakni Kurikulum Merdeka Belajar - Kampus Merdeka (MB-KM). 

Kampus Merdeka mempunyai penekanan yang sesuai dengan standar Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar nasional Pendidikan Tinggi dan mempunyai program terbaiknya untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa yaitu mahaasiwa diberikan kebebasan untuk mengambil SKS di luar program studi dengan batas pengambilan tiga semester.[2] Jumlah tiga SKS ini merupakan kegiatan-kegiatan yang bersifat akademik maupun non-akademik seperti magang. 

Kegiatan-kegiatan lainnya yang berorientasi pada mahasiswa adalah dengan diadakannya pertukaran pelajar antar-kampus entah itu secara nasional maupun internasional, hal ini sebagai perwujudan untuk menggali potensi mahasiswa dan mempunyai pengalaman-pengalaman yang baru. Program tersebut disebut dengan Mayor Minor, yang artinya persyaratan untuk mengambil mata kuliah di luar program studi tersebut harus berada dalam fakultas yang sama. 

Tidak berkenaan langung dengan proses implementasi kurikulum merdeka belajar yang nantinya akan menghasilkan buku pedoman umum untuk setiap fakultas dalam mereorientasikan kurikulum lama dengan baru.

Pembentukan kurikulum baru ini jika kita lihat secara lebih dalam merupakan batu loncatan terhadap semakin berubahnya tatanan dunia secara global yang memerlukan penyesuaian dan bekal kepada mahasiswa dengan menekankan pada empat core value, yakni adaptasi, resiliensi, integritas, dan kompetensi. 

Di luar hal itu, ada suatu kemampuan yang sangat penting untuk menghadapi dunia yang semakin berubah yaitu dengan menguasai pentingnya berkomunikasi, berpikir kritis, mampu bersaing dengan berbagai macam persaingan dalam dunia kerja secara nasional maupun internasional, dan banyak hal lainnya. Maka, dengan tuntutan-tuntutan yang semakin menggila tersebut, Mendikbud Nadiem Makariem mengusulkan agar kurikulum pendidikan kampus berbasis pada MB-KM.[3]

 Dibalik tawaran-tawan yang memberikan kebebasan untuk mahasiswa dalam menggali kompetensi dan memberdayakan berbagai soft-skill yang ada, ternyata terdapat masalah dalam penyelanggaraan kurikulum ini. 

Pada awalnya kurikulum ini digunakan dalam rangka merespon catatan rapat kerja Kemenristekdikti yang menyatakan bahwa para lulusan perguruan tinggi di Indonesia belum mampu dalam memenuhi aspek Higher Order of Thinking Skill, sehingga para lulusan perguruan tinggi terindikasi mempunyai banyak dengan pola pemikiran tingkat rendah atau Lower Order of Thinking Skill.[4] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun