Mohon tunggu...
Melani
Melani Mohon Tunggu... Lainnya - Nothing

Still nothing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penggunaan Media Sosial Pada Saat Pndemi Covid-19 dalam Konteks Pendidikan Pembebasan Paulo Freire

14 Januari 2021   17:37 Diperbarui: 15 Januari 2021   15:32 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia adalah salah satu negara terdampak penyebaran virus jenis Covid-19 yang diduga penyebarannya berawal di Wuhan, Cina. Pemerintah Indonesia tentu saja mengadakan pencegahan preventif pada awal-awal sebelum semakin luasnya penyebaran Covid-19 dengan berbagai upaya, seperti dilakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Work From Home (WFH), anjuran untuk social distancing, dan hal lainnya. Namun, upaya tersebut tidak kian mengurangi penyebaran virus. Jika kita mengamati melalui kurva penyebaran virus di Indonesia, peningkatan kasus positif terindikasi Covid-19 semakin tidak terkendali, dimana kita bisa melihat bahwa kurva tersebut tidak pernah menurun sejak awal penyebarannya pada bulan Maret sampai beranjak ke tahun 2021 ini.

Penyebaran virus yang kian meningkat tersebut menyebabkan kekacauan pada berbagai sektor kehidupan, entah itu ekonomi, politik, pariwisata, pendidikan, maupun kehidupan sosial. Pada konsekuensinya, masalah global yang melanda seluruh belahan dunia, interaksi dilakukan dengan cara digital atau virtual. Artinya, dalam berbagai kepentingan terutama pendidikan metode pembelajaran pada jenjang Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, seminar yang biasa dilakukan secara langsung digantikan dengan seminar web, serta aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan dengan teman sebaya dilakukan melalui media berbasis internet. Dalam kondisi ini, pembelajaran jarak jauh melalui media internet ataupun media sosial bagi pendidikan di Indonesia merupakan pilihan yang rasional dalam penerapannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial berperan penting dalam pendidikan di Indonesia pada saat pandemi ini. Dengan penggunaan media sosial hubungan-hubungan para siswa-siswi dengan lingkungan pendidikannya dapat terjalin dengan mudah. Entah itu dalam melakukan diskusi yang pada konteksnya dapat mengemukakan pendapatnya semaksimal mungkin di ruang media sosial seperti Instagram, Twitter, Whatsapp, Line, Zoom Meeting, Google Meet, dan berbagai platform lainnya yang mendukung aktivitas tersebut. Kebebasan di media sosial dalam menumpahkan segala pikirannya meskipun tanpa ada interaksi face-to-face menjadikan dunia yang ditumpangi menjadi semakin praktis dan efisien.

Namun, pesatnya perkembangan media sosial justru membawakan boomerang bagi penggunanya. Banyak siswa yang menyalahgunakan penggunaan media sosial menginggat tujuan pendidikan adalah menciptakan siswa yang berkarakter namun justru sebaliknya. Hal ini bisa terjadi dikarenakan adanya penggunaan media sosial yang tidak terbatas dan tanpa kontrol apalagi pada saat pandemi, penggunaan media sosial semakin intens dilakukan oleh para penggunanya terutama pada siswa tanpa pengawasan seorang pendamping.

Dengan penggunaan media sosial yang memiliki keunggulan bahkan boomerang-nya tersendiri, dimana para siswa dapat menggunakannya sebagai media belajar dalam suatu pendidikan dan dengan mudah mengungkapan pendapatnya secara praktis. Kepraktisannya dalam bermedia sosial mempunyai konsekuensi tersendiri baik terhadap individu maupun keefesienan dalam pendidikan. Dalam hal ini, maka dapat ditilik lebih lanjut menggunakan paradigma pendidikan pembebasan yang dicetuskan oleh Paulo Freire.

Transformasi gaya belajar yang secara mendadak menimbulkan adanya suatu kebiasaan baru yang menghubungkan manusia pada pendidikan berbasis virtual dengan penggunaan media sosial yang intens, penggunaan media sosial seperti whatsapp, twitter, dan lainnya pada masa pandemi Covid-19 ini merupakan salah satu bentuk pendidikan pembebasan karena berpadu pada kebebasan berpendapat secara timbal balik. Pendidikan pembebasan menurut Paulo Freire merupakan proses bagi seorang anak untuk menemukan hal yang paling penting dalam kehidupannya, yakni terbebas dari segala yang mengekang kemanusiannya menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan (Akhmad Muhaimin, 2014: 9). Bila merujuk pada pemikirannya Freire, pendidikan yang membebaskan cenderung berorientasi pada pembelajaran yang kritis dan mendorong peserta didiknya untuk lebih bisa mengetahui dan menfsirkan apa yang ada dalam kehidupan realitasnya.

Dalam melancarkan pendidikan secara virtual atau yang disebut dengan e-learning ini, hubungan guru dan murid menunjang kesuksesan dalam suatu pendidikan pembebasan.  Freire dalam Paul Suparno (2001: 26) berpendapat bahwa dialog adalah suatu hal yang penting dalam proses belajar mengajar karena dalam dialog itu mereka bisa saling menghargai, saling belajar, dan saling menghindarkan dari tekanan penguasa. Tekanan penguasa yang dimaksud adalah seseorang yang mengendalikan pendidikan entah dari hal kurikulum, metode pembelajaran di sekolah, dan hal lainnya. Dalam hal e-learning melalui media sosial seperti zoom meeting ataupun google meet dialog secara kritis perlu diadakan karena menyangkut dengan pembebasan berpikir yang menjadi salah satu elemennya adalah dengan adanya kebebasan berdialog. Dengan dialog yang kritis masing-masing individu dapat dihargai sebagai manusia dan mengembangkan intelektual. Dalam dialog itu masing-masing bukan hanya mempertahankan identitas mereka, tetapi juga berkembang bersama. Dalam dialog juga hak asasi manusia dihargai dan tidak dimatikan demi kemenangan satu pihak.

Selain dari media pembelajaran yang diterapkan dalam pendidikan pada masa pandemi, ada pula media sosial yang perlu dijadikan perhatian khusus dalam penggunaannya, salah satu contohnya adalah media sosial Twitter, Whatsapp, ataupun Telegram yang pada umumnya dapat dijadikan sebagai media untuk berdialog entah itu melalui texting, voice recorder, maupun video call. Media tersebut bisa digunakan di luar pendidikan formal yang bebas. Dalam hal tersebut sudah menjadikan tugas pendidik untuk mengawasi ketat para siswa guna meminimalisir hal-hal yang negatif di dalam perseluncuran media sosial.

Pendidikan e-learning melalui sosial media bisa dikatakan salah satu upaya dalam memperoleh pengetahuan dan dapat menjadikan proses transformasi dalam kehidupan antara siswa dan hal ini sudah pasti harus adanya timbal balik dari pembelajaran.Namun, metode pembelajaran di media sosial ini, tidak terlepas dari siswa yang melakukan hal yang negatif seperti tidak menggunakan media sosial dengan bijak yang seharusnya bisa menjadi lahan untuk berdialog, akan tetapi melakukan hal seperti menjadikan sosial media sebagai ajang cyber-bullying, penipuan online, dan sebagainya. Hal semacam ini diakibatkan karena tidak konsistennya sistem pendidikan berbasis e-learning dalam memantau aktivitas siswa melalui media sosial. Selain itu, tantangan dalam pembelajaran e-learning menjadikan banyaknya siswa yang tidak memahami apa yang disampaikan oleh guru dan berakhir dengan hanya sebagai pendengar dan tidak terpacu untuk mengembangkan pengetahuannya, menurut Freire hal ini merupakan tindakan anti-dialog yang merupakan sebagai alat penaklukan para penguasa (Freire; 141).

Dalam hal-hal negatif yang dilakukan tersebut telah melewati sebuah kebebasan. Dimana menurut Freire dan Ivan Illich dalam bukunya (Menggugat Pendidikan, 2009: 438) kebebasan memiliki batasan-batasan tertentu, kebebasan tanpa batas seperti melakukan cyber-bullying di tengah penggunaan medis sosial untuk melakukan pembelajaran, menggunakan aplikasi diskusi satu arah seperti google classroom yang hanya sering digunakan untuk pemberitahuan tugas dan “submit” tugas pada waktu yang telah ditentukan, siswa di media sosia tersebut akan menimbulkan anarki dan mendistorsi makna pembebasan itu sendiri, terkait dengan upaya proses pendidikan yang selalu mengedepankan “kebebasan” sebagai ruh spirit dalam melakukan pemaknaan akan keberadaan manusia sebagai manusia yang benar-benar manusiawi. Kebebasan bukanlah cita-cita yang letaknya diluar manusia; bukan pula sepotong gagasan yang kemudian menjadi mitos. Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi agar manusia dapat memulai perjuangan untuk menjadi manusia utuh.

Hal yang paling mendasar dari pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memanusiakan manusia dan juga pendidikan yang membebaskan memang harus dijadikan pendidikan humanis dan libertarian atau merdeka (Freire, 2009: 446). Untuk itu pendidikan harus menjadi jalan menuju pembebasan umat manusia, karena tujuan tertinggi manusia adalah humanisasi. Seperti yang dilakukan dengan pembelajaran e-learning menggunakan media-media tertentu seperti zoom meeting untuk mengeluarkan gagasan atau berdiskusi dengan siswa lainnya. Jelas terlihat bahwa tujuan humanisasi Freire ini tidak bersifat kebebasan individu, akan tetapi karena tujuan humanisasi sosial pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun