Beredarnya surat undangan rapat paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) pada Senin 5 Oktober 2020, sempat menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial. Rapat pengesahan RUU Ciptaker yang disusun dengan metode Omnibus Law tersebut dihadiri oleh 318 dari 572 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan pembahasannya menurut netizen di media sosial dinilai terlalu terburu-buru, sehingga esensi dari pasal per pasalnya tidak mendalam dan cenderung mengakibatkan kerancuan, hal tersebut disertai dengan pengesahannya yang terburu-buru pula. Akibatnya, berbagai kalangan masyarakat mengalami kekecewaan terhadap keputusan tersebut dikarenakan masih banyak kejanggalan yang ditemukan dalam isi RUU.
Banyak yang menduga bahwa Omnibus Law membawa kerugian yang jauh lebih besar kepada beberapa aspek kehidupan seperti kesejahteraan para pekerja, pendidikan, lingkungan, dan lainnya dibandingkan dengan kepentingan para penguasa karena Omnibus Law seakan mengundang para investor untuk menanamkan kekayaannya di Indonesia tanpa mempertimbangkan kesejahteraan fisik, finansial dan keamanan para pekerja dengan peraturannya yang rancu dan menimbulkan berbagai kontra.
Seperti yang diketahui, sebelum pengesahan Omnibus Law, banyak para aktivis seperti aksi kamisan yang secara masif berdemonstrasi supaya tidak mengesahkan Omnibus Law. Selain itu, ketika berlangsungnya sidang paripurna RUU Ciptaker pun ada dua fraksi yang menolak dengan tegas, yaitu Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Demokrat.
Ketegangan semakin terasa ketika adanya interupsi yang dilakukan Benny K. Harman selaku dari fraksi Partai Demokrat terhadap pimpinan rapat, Azis Syamsuddin. Ketika interupsinya tidak ditanggapi oleh piminan rapat, Benny dan seluruh fraksi Partai Demokrat menyatakan walk out. Dari kedua hal tersebut, topik Omnibus Law semakin memanas seiring dengan banyaknya asumsi-asumsi netizen tentang Omnibus Law terutama di platform media sosial Twitter. Ketika banyak mahasiswa dan para buruh menyuarakan aspirasinya dengan demonstrasi di jalan, para penggemar musik Korean Pop menyatakan keberatannya terhadap Omnibus Law melalui hashtag yang digunakan di Twitter.
Penggemar K-Pop yang digandrungi oleh banyaknya pemuda di Indonesia sering dilabeli dengan diksi-diksi negatif dan apatis terhadap permasalahan politik yang terjadi. Namun, seiring dengan meningkatnya penetrasi internet yang tidak lepas dari pengaruh popularitas media sosial seperti Twitter, penggemar K-Pop mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pengangkatan isu politik dengan berbagai cara yang unik, yaitu salah satunya adalah dengan menaikkan hashtag sampai mencapai world trending di platform Twitter sehingga dari isu Omnibus Law yang pada awalnya hanya dibahas segelintir orang saja dapat menjadi bahan perbincangan masyarakat di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Deretan hashtag tersebut pun beragam, mulai dari #GagalkanRUUCiptaKerja, DPR Pembohong, #DPRImpostor, bahkan saat RUU Cipta Kerja disahkan, hashtag #TolakOmnibusLaw menjadi trending nomor 1 di dunia.
Penggunaan digital terutama media sosial yang intens pada penggemar K-Pop yang menjadikan salah satu faktor tersebarnya secara meluas tagar tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh The Center For Internet and Society Bangalore India yang difasilitasi oleh Hivos Belanda dengan judul "Digital Native with Cause" mengidentifikasikan bahwa pelaku digital natives adalah mereka yang dikategorikan sebagai kaum muda dan akrab dengan digital. Penelitiannya menemukan bahwa digital natives merupakan e-agent of changes karena teknologi informasi dan internet banyak digunakan oleh kaum muda. Hal ini memperkuat fakta bahwa pemuda yang dalam konteks ini adalah penggemar K-Pop merupakan salah satu aktor yang nyata sebagai aksinya melakukan perubahan sosial meskipun secara digital.
Dengan adanya aksi protes terhadap Omnibus Law melalui trend hashtag di Twitter yang dinaikkan oleh penggemar K-Pop, hal tersebut dapat membantah stereotip lawas yang mengidentifikasi K-Popers adalah pemuda yang meresahkan karena hiperbolis terhadap pemujaan idolanya dan stereotip bahwa K-Popers sering disalahpahami sebagai fanatik, apatis, dan irasional. Diksi-diksi negatif tersebut pada dasarnya hanya terjadi pada sebagian kecil saja di dalam suatu komunitas-komunitas penggemar yang besar.
Miskonsepsi dan salah satu hal yang luput dipahami di Indonesia adalah bahwa K-Popers mempunyai peran dan potensi yang besar dalam hal sosial-politik. Gerakan yang dilakukan secara digital tersebut dapat kita lihat bahwa kontribusinya terlihat sangat transparan. Kekecewaan dan ketidakpuasan mereka terhadap suatu isu politik di Indonesia khususnya Omnibus Law diungkapkannya dengan ekspresif dan penuh ketegangan di platform Twitter.
Jika ditinjau dari perspektif sosiologi, kita dapat menilik lebih luas lagi melalui perspektif perjuangan kelas yang dicetuskan oleh Karl Marx. Eksploitasi kaum proletar sangat menarik perhatian Marx di mana buruh diharuskan bekerja dalam rentang waktu yang sangat lama dengan upah yang tidak sebanding dengan hasil kerjanya.
Modal (kapital) memperlihatkan sebuah fenomena hubungan yang menarik bagi Marx: tenaga kerja manusia menjadi sebuah komoditi. Â Para pekerja upahan menjual tenaganya kepada para pemilik tanah, pabrik, dan alat-alat kerja. Seorang pekerja menggunakan sebagian waktunya untuk bekerja kepada pemilik modal. Dengan adanya Omnibus Law yang menimbulkan banyak kerugian pada masyarakat pekerja umum atau yang sering disebut dengan buruh, sedangkan memiliki keuntungan yang besar terhadap penguasa dengan berbagai modal memiliki hubungan kausal, yaitu salah satunya adalah adanya revisi pesangon yang sudah diatur dengan baik dalam UU 13/2003 akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah, jika dibandingkan dengan sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih. Hal tersebut akan mengakibatkan dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruah ialah akan kehilangannya upah minimum. Dalam pandangan Karl Marx, hal tersebut terjadi karena adanya eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik modal.
Dengan adanya kesadaran kelas dan kesadaran atas eksploitasi tenaga kerja tersebut, dalam konteks tulisan ini pemuda sebagai penggemar K-Pop menjadi aktor yang bergerak untuk melakukan protes dalam rangka #TolakOmnibusLaw. Dalam pandangan Marx, diri individu pemuda memiliki jiwa resensial yang akan memperjuangkan dirinya atau masyarakat. K-Popers sebagai aktor yang menaikkan trending hashtag di Twitter sampai isu Omnibus Law ini menembus ke perbincangan ranah internasional adalah suatu pencapaian besar yang berdampak besar pula terhadap masyarakat Indonesia, semakin meluasnya suatu isu yang menyebabkan kemarahan publik, semakin besar pula masyarakat yang akan sadar dari dampak terburuk RUU Cipta Kerja.