Latar BelakangÂ
Menuju Indonesia maju atau Indonesia emas tentunya membutuhkan banyak pembenahan dalam berbagai sektor pemerintahan, terutama pembenahan dalam hal penegakan hukum terhadap hak-hak asasi setiap orang seperti hak untuk hidup dan mengembangkan diri guna memperoleh kondisi sosial dan ekonomi yang baik. Penegakan hukum yang berdasarkan budaya meritokrasi adalah salah satu pintu awal menuju suatu masyarakat yang maju. Meritokrasi sebagaimana yang pernah dituliskan oleh seorang yang bernama Michael Young dalam bukunya yang berjudul "The Rise Of The Meritocracy", pada dasarnya menyatakan bahwa, meritokrasi adalah suatu sistem yang menilai seseorang berdasarkan kemampuan dan kompetensinya bukan berdasarkan kesamaan ras, suku, agama, dan lain sebagainya.
Bahkan tidak hanya sebatas menilai, namun dalam budaya meritokrasi setiap keputusan yang diambil juga bersifat objektif karena alasan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, bukan berdasarkan alasan kedekatan, atau alasan kekeluargaan. Dengan menerapkan dan memelihara budaya meritokrasi, kita memberikan kepada setiap orang hak asasi yang patut mereka dapatkan. Hal tersebut secara jelas sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia. Tidak banyak, bahkan hampir tidak ada penelitian yang berusaha untuk meneliti hubungan antara meritokrasi dan hak asasi manusia. Dalam esai ini, penulis akan meneliti lebih dalam hubungan antara meritokrasi dan hak asasi manusia, dan mengapa hidup dalam budaya meritokrasi adalah hak asasi bagi setiap orang.
Isu utama yang menjadi objek penelitian adalah paradigma masyarakat terhadap praktik nepotisme di Indonesia dan bagaimana seharusnya penegakan hukum terhadap praktik nepotisme. Dikaitkan dengan mengapa harus meritokrasi ? Apa yang membuat meritokrasi dapat mewujudkan Indonesia maju atau Indonesia emas ?
Mengapa Meritokrasi ?
Michael Young dalam bukunya yang berjudul The Rise Of The Meritocracy, menjabarkan kondisi sosial yang terjadi di Inggris dalam kurun waktu 1940-an. Dalam bukunya, Michael Young menjelaskan bahwa saat itu kondisi kehidupan sosial di Inggris sangat tidak menggambarkan kesetaraan kesempatan baik dalam pendidikan maupun pekerjaan. Terutama Young, menyoroti bagaimana anak-anak yang memiliki kemampuan dan kompetensi yang tinggi harus putus sekolah demi bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebanyakan dari mereka dengan kemampuan dan kompetensi yang luar biasa hanya menjadi seorang pengantar surat, di saat yang sama anak-anak yang lahir dari keluarga kaya dengan kemampuan dan kompetensi yang rendah bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi dalam pekerjaan, hanya karena orang tua mereka memiliki koneksi yang lebih.
Hal ini menjadi penting untuk dibahas, karena dampak dari nepotisme semacam itu akan berdampak sangat mengerikan untuk masa depan suatu bangsa. Bagaimana tidak, budaya nepotisme semacam itu akan membuat banyak orang merasa tidak perlu belajar dan berusaha untuk mengejar pendidikan. Hal ini akan menjadi domino efek yang mengerikan, kurangnya high skill labor dan menurunnya kualitas pendidikan dapat berdampak buruk bagi perekonomian, penulis akan membahas lebih detail dalam poin khusus perihal dampak nepotisme terhadap kemajuan suatu negara.
Â
Hubungan Meritokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)Â
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM), "Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia."
Dapat dipahami bahwa hak asasi manusia adalah hak yang tidak diberikan oleh negara namun ini adalah hak yang dimiliki seseorang karena dia adalah seorang manusia. Prof. Philip Alston dan Prof. Franz Magnis-Suseno dalam buku mereka yang berjudul "Hukum Hak Asasi Manusia", menuliskan bahwa dikarenakan  hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki seseorang semata-mata hanya karena dia adalah manusia untuk menegaskan martabatnya. Hal ini berarti setiap manusia di dunia memiliki hak yang serupa, meskipun berbeda warna kulit, ras, agama, bahasa, jenis kelamin karena hak asasi manusia bersifat universal.
Di dalam UU HAM terdapat banyak hak-hak yang digolongkan sebagai hak asasi manusia, namun dalam penelitian ini akan difokuskan pembahasan terutama pada hak untuk hidup dan mengembangkan diri guna memperoleh kondisi sosial dan ekonomi yang baik. Tercatat setidaknya ada beberapa pasal yang berkaitan dengan hak di atas, sebagai berikut:
- Pasal 9 UU HAMÂ
Ayat (1) "Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya."
Ayat (2) "Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin."
- Pasal 12 UU HAM
"Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahttera sesuai dengan hak asasi manusia."
- Pasal 38 UU HAM
Ayat (1) "Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak."
Ayat  (2) "Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil."
- Pasal 69 UU HAM
Ayat (1) "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara."
Ayat (2) "Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, meneggakan, dan memajukannya."
- Pasal 71 UU HAM
"Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undangundang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia."
- Pasal 72 UU HAM
"Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain"
Berdasarkan beberapa pasal di atas, jelas dapat dipahami, bahwa hak atas penghidupan yang layak, pengembangan diri dan memperoleh pekerjaan yang layak dengan cara yang adil adalah hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Permasalahannya adalah hak-hak tersebut tidak bisa dicapai tanpa budaya meritokrasi. Dan dalam hal ini pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan menjamin terlaksananya hak-hak tersebut dalam berbagai bidang.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa meritokrasi adalah suatu sistem atau suatu budaya yang memberikan kesetaraan kesempatan kepada setiap individu dan juga memberikan penghargaan kepada individu berdasarkan prestasi dan kemampuan. Dalam sistem ini, jelas bahwa hak-hak seseorang untuk mendapatkan penghidupan yang layak, pekerjaan yang layak, dan ruang untuk pengembangan diri dijamin dan dilindungi. Sehingga, penolakan terhadap meritokrasi atau perilaku nepotisme jelas melanggar hak asasi manusia.
Â
Dampak Nepotisme Terhadap Kemajuan Suatu NegaraÂ
Sebuah penelitian yang ditulis oleh Asmita Malik pada tahun 2018 yang berjudul "Nepotisme berdampak buruk bagi ekonomi, tetapi banyak orang menganggapnya enteng", menguraikan dengan jelas bagaimana praktik-praktik nepotisme dapat sangat berdampak buruk bagi perekonomian suatu negara. Asmita Malik menyatakan, bahwa nepotisme menyingkirkan pekerja-pekerja berkualitas, membuat orang tidak lagi memiliki daya juang untuk belajar, dan membatasi kesempatan yang seharusnya bisa di akses oleh setiap orang dalam masyarakat.
Nepotisme menjadi semacam bom waktu yang akan meledak, kurangnya high skill labor, kualitas pendidikan yang menurun, ketidakpercayaan masyarakat pada sistem, kurangnya kompetisi di kalangan peneliti untuk membuat penelitian mutakhir. Semuanya akan memengaruhi perekonomian dan kita tahu bahwa ekonomi adalah faktor penting untuk menunjang kemajuan suatu negara. Dalam penelitiannya Asmita Malik melakukan pengujian kepada 237 responden pada bulan Mei -- Juni 2018, dan juga mewawancarai 10 responden pada bulan Juli -- Agustus 2018. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap praktik nepotisme.
Hasil dari pengujian tersebut, mengungkapkan bahwa mayoritas responden setuju nepotisme adalah tindakan yang buruk dan salah namun tidak lebih buruk dibandingkan dengan korupsi. Bahkan dari beberapa responden yang diwawancarai, 7 di antara mereka menyatakan bahwa tindakan nepotisme adalah tindakan yang wajar. Alasannya adalah sudah menjadi kewajiban mereka untuk memastikan orang-orang terdekatnya bisa mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang baik.Â
Sangat disayangkan, bagaimana banyak dari responden yang adalah masyarakat Indonesia masih berpendapat bahwa nepotisme adalah tindakan yang wajar. Bahkan beberapa responden ini, menyatakan bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk memastikan kehidupan orang terdekat mereka stabil meskipun dengan cara menutup kesempatan bagi orang lain.
Â
Meregulasi Kembali Ketentuan Nepotisme di Indonesia
Di Indonesia sebenarnya sudah ada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Dalam Pasal 1 angka 5, "Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya  dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara".
Dalam definisi nepotisme tersebut, dapat dipahami bahwa perbuatan nepotisme hanya menyangkut perihal kegiatan penyelenggaraan negara. Hal ini menjadi masalah karena perbuatan-perbuatan nepotisme di luar kegiatan penyelenggaraan negara tidak dimaknai sebagai perbuatan nepotisme. Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, bahwa meritokrasi adalah hak asasi setiap manusia, oleh karenanya diperlukan regulasi yang lebih luas tentang nepotisme yang tidak terbatas pada kegiatan penyelenggaraan negara saja. Makna nepotisme harus diperluas tidak hanya menyangkut perihal urusan penyelenggaraan negara saja, namun juga urusan yang lebih privat seperti kegiatan di sektor bisnis dan korporasi. Hal ini perlu dilakukan untuk bisa menghasilkan labor market yang lebih bisa berdaya saing yang tentunya akan berujung kepada peningkatan perekonomian pada akhirnya.
Adalah hak asasi setiap orang untuk hidup dalam budaya meritokrasi, karena setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan impiannya. Hak setiap orang untuk mendapat penghidupan yang layak harus dilakukan dengan cara tidak melanggar hak asasi orang lain, dalam hal ini peran pemerintah sangat sentral sebagai pihak yang diberikan kekuasaan oleh rakyat untuk melindungi hak-hak mereka. Pada ulang tahun Republik Indonesia yang ke-79 ini, tentunya ada harapan bagi bangsa ini ke depan dapat menjadi bangsa yang menjunjung tinggi budaya meritokrasi untuk menuju Indonesia maju.
Â
DAFTAR PUSTAKA
Â
Buku
Magnis-Suseno, P. P. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusham Uii.
Young, M. (1958). The Rise Of The Merirocracy . Bristol: Thames & Hudson.
Â
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, LN No. 75 Tahun 1999, TLN Nomor 3851
Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Thaun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN Nomor 3886
Â
Internet
Asmita Malik, N. b. (2018, Agustus 17). Retrieved from The Conversations: https://theconversation.com/nepotisme-berdampak-buruk-bagi-ekonomi-tapi-banyak-orang-menganggapnya-enteng-104575
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H