Seperti halnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008 mengenai calon DPD. Frasa yang ada dalam undang-undang hanyalah berdomisili di Indonesia, maka mahkamah memberikan putusan inkonstitusional bersyarat, selama tidak dimaknai bertempat tinggal di daerah konstituennya.Â
Begitu pun halnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 mengenai pilkada yang hanya dapat terselenggara jika terdapat dua paslon. Namun realita yang ada, terdapat lima daerah yang hanya memiliki satu paslon. Sehingga, Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam putusannya, bahwa pilkada dapat tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu paslon.Â
Apabila Mahkamah terkekang dengan konsep Judicial Restraint sehingga tidak dapat melakukan penafsiran konstitusional dari berbagai dogma dan berbagai nilai-nilai di luar konstitusi, maka sejatinya Mahkamah Konstitusi hanya menjadi corong dari sebuah undang-undang. Sehingga tepatlah, ketika Mahkamah meletakkan nadi dan degub jantungnya sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, tanpa harus terikat oleh teks norma semata seperti yang dikonsepkan Judicial Restraint.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H