Mohon tunggu...
Muhamad Nur Mekah
Muhamad Nur Mekah Mohon Tunggu... lainnya -

anak muda, masih muda dan mencoba berfikir muda..membebaskan fikiran dari dogma dan doktrin..mencoba mandiri dan kritis..memban lain untuk membantu orang untuk bisa tersenyum dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mereka Mati sebelum Meninggal

20 Februari 2014   01:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur, ketika membaca habis buku puisi esai “Kuburlah kami hidup-hidup” karya Anick Hamim Tohari (Anick HT). Ada tiga dari lima bab puisi esai yang menggugah perasaan dan pikiran saya. Yaitu “Olenka, generasi yang hilang” “Tuhanmu bukan Tuhanmu” dan “Kuburlah kami hidup-gidup”, yang dijagokan Anick sebagai judul besar buku ini.

“Olenka,

Kau datang padaku dengan sejumput ragu.

Ini Iqro

Kami wajib menguasainya jika mau melanjut sekolah

Kami harus melahap dan mengunyahnya

Jika hendak ketemu surga

Sebenar surga

Ini Iqro

Kami dapat dari sekolah inpres sebelum kami lulus

Kata mereka, kami ini Islam

Orang Islam membaca dan menulis Arab

………..

……..

Olenka,

Sila kau pergi dari hadapku

Dari pelataran leluhurmu ini

Aggap saja kau tlah tuntaskan

Tugas kenabianmu

Olenka,

Aku memaafkanmu

Sebagai keniscayaan zaman

Olenka,

Aku harus mengangguk

Hilang satu generasi

Tapi Olenka,

Sebut saja Tuhanmu

Kami akan sebut Tuhan kami

To Rie akra”na

Kami akan sambah Ia

Dengan cara kami sendiri

Di sini.”

Cerdas penempatan cerita tentang pemaksaan pemerintah Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, terhadap masyarakat Suku Kajang, untuk masuk Islam dan wajib bisa membaca Al-Qur’an bagi anak-anaknya agar bisa lulus sekolah, sebagai bab pertama.

Gaya bertutur dalam bab ini, membawa pembaca dalam dialog antara seorang bapak dan anak Suku Kajang. Kebijakan yang mengharuskan warga Suku Kajang masuk Islam dan ber-KTP Islam, tidak sepenuh hati diikuti oleh mereka. Ketakutan terhadap kebijakan pemerintah, dan harapan anak-anak bisa hidup lebih baik, menyebabkan para orang tua putus asa. Karena apa yang mereka yakini, tidak akan lagi ada penerusnya.

“Olenka,

Maafkan kami

Pelan meluntur penghargaan kami

Terhadap Ammatoa

Tak lagi teguh memegang pesan To Rie Akra’na

Kami tak kuasa menolak sesuatu bernama negara

Kami tak sadar akan sampai sejauh ini

………

……….

Kami hanya tahu bercocok tanam

Sejak leluhur, setengah leluhur,

Hingga kakek-kakek kami

Kami hanya tahu

Ada satu kuasa di atas kuasa manusia

Tak tertandingi

Penjaga alam raya ini

Penjaga hutan penghidupan kami

To Rie Akra’na yang menitip Pasanga ri Kajang

Tuntutan hidup kita.”

[caption id="attachment_296370" align="alignright" width="300" caption="sinopsi"][/caption] Gaya bertutur dalam dialog ini, memberikan gambaran kepada pembaca bahwa permasalahan pemaksaan agama kepada masyarakat asli pemegang kepercayaan jaman dulu, adalah masalah besar bagi keberlangsungan hidup suku itu. Mengikuti ajaran agama baru tanpa sepenuh hati, akan menyebabkan mereka juga tersingkirkan dan tertindas oleh kelompok lain.

Hal itu yang terlihat dalam bab “Tuhanmu bukan Tuhanmu”. Gaya dialog yang tertuang dalam bab ini, dengan jelas dan runut menceritakan masalah pemaksaan agama terhadap komunitas kepercayaan Sapta Darma di Yogyakarta. Keberadaan mereka yang dipaksa oleh pemerintah lokal, untuk beragama dan ber-KTP Islam, menghadapkan mereka pada keangkaramurkaan kelompok berlabel agama, hingga darah harus mengucur.

“Romo Prapto berdiri, Ibu

Dan senyum welas asihnya

Kami ini bukan muslim

Jika itu yang ingin Anda semua dengar

Sontak gemuruh

Dan Warno, Ibu

Aku melihatnya

Melantang suara:

Tapi KTPnya Islam!

Aku melihatnya, Ibu

Romo Prapto tetap tersenyum

Salahkan Pak RT jika KTP kami Islam

Pak RT terkesiap sontak, Ibu

Tak sangka namanya diseretsebut

Pak RW terkesiap, sedikit resah

Berharap tak disebut setelahnya

Para pembela terkesiap

Kehilangan alasan menyalahkan

Para ulama terkesiap

kehilangan 400 umat, lebih

dalam sekejap

salahkan para penghuni istana raja

yang tak berniat mengakui jati  dan diri kami

kami tak hendak disebut muslim

tak hendak dihitung sebagai pemeluk Islam

kami menyembah Tuhan dengan cara kami

Tuhan Yang Maha Esa

Mungkin Tuhan  Kami berbeda dengan Tuhan Anda

Mungkin juga sama

Tapi kami bukan muslim

Jika itu yang ingin Anda dengar”

Gaya bertutur yang menceritakan kisa pilu dialami seorang anak kepada ibunya yang sudah meninggal dunia, menggambarkan betapa kompleksnya permasalahan identitas agama di Indonesia ini. Menjadi orang luar di negara yang mereka huni sejak lahir, membuat hati mereka terkoyak, hanya karena kepercayaannya tidak masuk dalam kategori agama resmi di negara ini.

Pada segmen “Kuburlah kami hidup-hidup,” pembaca, khususnya saya, dibawa pada masa pemberitaan media massa terhadap perlakuan yang diterima warga Ahmadiyah Lombok, Mataram, dari negara pada 2009. Rasa putus asa mereka, karena bertahun-tahun sejak 1998-=2009, hidup di pengungsian tanpa jaminan dari negara, membuat mereka mengirimkan surat kepada Walikota Mataram pada 2009, untuk dibunuh saja daripada hidup tanpa kepastian.

“……..

Atau,

Jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami,

Di bui tidak ada tempat bagi kami,

Di pembuangan sampah tidak ada,

Di pekuburan-pekuburan juga tidak ada,

Maka galikanlah bagi kam , Tuan Penguasa,

Kuburan

Kami seluruh warga pengungsi,

Laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak,

Siap dan ikhlas dikubur hidup-hidup

Biarlah kami menempati ruang bernama neraka jahannam

Akibat kesesatan kami

Seperti yang dituduhkan kepada kami”

Pada akhirnya, membaca buku ini, akan mengembalikan hati kita pada tempatnya, untuk bersikap toleran, simpati, menjadikan manusia sebagai manusia dan Tuhan sebagai Tuhan. seperti yang dikatakan penyair santri ternama  Kyai Acep Zamzam Noor dalam kata pengantar buku ini, “Lewat lima puisi esainya ini Anick seakan  mengajak kita untuk kembali kepada makna genuine agama, yakini keimanan yang membebaskan dan mencerahkan umat.”

Keresahan yang ditebarkan Anick HT melalui buku ini, akan menolong umat manusia di Indonesia ini, untuk berpikir, bahwa ada masalah yang tidak pernah diselesaikan serius oleh penguasa negeri ini. Dan itu, menjadi masalah kita semua, sebagai manusia.

Judul                     : Kuburlah kami Hidup-Hidup

Penulis                 : Anick HT

Penerbit              : ICRP dan Inspirasi.co

Tahun                   : Januari 2014

Ammatoa adalah penyebutan terhadap orang pertama suku Kajang yang menerima pesan-pesan suci  dari To Rie Akra’na. pesan itu yang kemudian disebuat Pasanga ri Kajang yang wajib ditaati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat Ammatoa.

Percaya kepada To RIe Akra’na adalah keyakinan yang paling mendasar pada komunitas Tanah Toa Kajang. To Rie Akra’na adalah penamaan terhadap zat Yang Maha Kuasa.

Surat pengungsi warga Ahmadiyah, kepada Walikota Mataram pada 4 Agustus 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun