[caption id="attachment_95676" align="alignleft" width="300" caption="illustrasi"][/caption] Namanya anak kecil biasanya identik dengan kemanjaan. Anak kecil pada umumnya tak akan melakuakan sesuatu yang disuruh tanpa dilatar belakangi sesuatu yang menguntungkan dan menakutkan baginya, berarti bila ia tak melakukanya atas dasar keinginanya sendiri berarti ia melakukanya atas dasar paksaan, himbauan dan dibawah tekanan atau karna sesuatu hal yang memotivasinya. Saya punya seorang keponakan perempuan yang masih duduk di bangku SD. Namanya anak-anak maka jalan pikiranya pasti identik dengan bermain dan bermain. Ia tak pernah bisa paham kewajibanya sebagai seorang siswa, seharusnya ia belajar dan belajar untuk menambah ilmunya demi masa depanya kelak. Alasan inilah yang kadang membuat orang tuanya agak khawatir denganya. Bila dipikirkan secara logika maka bukan suatu hal yang aneh bila anak-anak seumuranya berlaku demikian tapi tak bisa dipungkiri juga bahwa orang tua juga punya sedikit kekhawatiran pada anak-anaknya terutama yang berhubungan dengan masalah pendidikan. Orang tua yang mana yang mau melihat anaknya lebih tak baik dari anak lain? Tak adakan, semua orang tua ingin anaknya menjadi yang terbaik. Karena alasan seperti ini sang ibu tak jarang memotivasi anak-anaknya, memberi sedikit gambaran yang baik untuk dilakukan anak seumur mereka. Tapi yang namanya anak-anak tak akan bisa dipaksa, mereka butuh kekreatipan, mereka bosan dengan yang itu-itu saja. Menghindari itu, maka sang orang tuapun memberikan sebuah kejutan baginya bila ia berhasil mengerjakan pekerjaan rumahnya dan rajin belajar. Siapa sih yang tak ingin dihadiahi? Semua orang tentunya mau. Ini pulalah yang mendasari keponakan saya itu, ia berusaha agar secepat mugkin mengerjakan setiap perintah ibunya dengan baik dengan harapan ia bisa mendapatkan hadiah atasnya. Finish, dengan rasa bangga keponakan saya melapor kepada ibunya bahwa ia telah selesai. Ia juga tak lupa menuntut apa yang telah dijanjikan ibunya padanya bila syaratnya terpenuhi. Syaratnya memang sudah terpenuhi tapi hasil dari terpenuhinya syarat tak juga muncul dan diberikan oleh si ibu. Akhirnya sang anakpun menangis kecewa. Beberapa hari kemudian, sang ibu berusaha memberikan tugas yang sama pada anaknya tapi apa yang terjadi? Kali ini sang ibu terkejut karena sang anak tidak mau lagi melakukanya atau dengan kata lain ia menolak. Pastinya akibat berkaca pengalaman sebelumnya. Apa yang terjadi disini adalah sebuah klausa sebab akibat. Tak mungkin si anak mau menolak bila tak ada sebabnya. penolakan dan tak mau memenuhi permintaan sang ibu adalah karena akibat perbuatan ibunya sendiri yang telah membohongi sang anak sebelumnya. Walau bukan pakar dalam masalah psycology anak, tapi sepertinya semua orang tahu betul bahwa anak-anak itu berpikiran polos. Semua yang ada dipikiranya adalah berdasarkan apa yang terlihat saja. Jadi bila sang anak telah mendapatkan sebuah kejadian yang kurang mengenakkan, maka ia akan berusaha untuk mengingatnya sebisa mungkin walau dalam tempo waktu yang sangat singkat. ia juga akan bersikap tak biasanya pada orang yang telah memperlakukanya demikian. Karena mereka masih kecil, jalan pikiranya masih pendek, maka banyak orang dewasa seperti kita ini mengambil keuntungan dari mereka (walau sebenarnya semua itu demi kebaikan mereka (anak) juga) yang justru malah membuat keadaan semakin tak baik. Bayangkan saja, yang anak-anak saja merasa tak senang bila dibohongi apalagi yang orang dewasa?? Salam sayang, sumber gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H