“Di tempat kami ini sulit untuk mendapatkan air bersih. Jadi kami tidak rela jika turis-turis yang menginap di resort mengambil air bersih kami,” begitu kira-kira pernyataan Pak La Beloro, Ketua Forkani - forum petani dan nelayan - di P. Kaledupa, Wakatobi (2009). Entah kenapa, tiap kali membicarakan tentang pariwisata, kita selalu terjebak membahas potensi, keindahan alam, kesejahteraan ekonomi, infrastruktur , fasilitas hingga strategi promosi bagi wisatawan. Titik beratnya lebih pada “bagaimana menjual daerah tersebut pada wisatawan” dan “bagaimana agar kebutuhan wisatawan terpenuhi". Mungkin karena kita, yang sedang membahas pariwisata, adalah para turis. Para pejalan yang senang menjelajahi suatu tempat untuk beberapa hari, lalu setelah itu pergi. Para wisatawan yang selalu ingin pelesir ke tempat-tempat baru yang memiliki keindahan alam atau kota-kota yang eksotik, dengan berharap semua kebutuhan tersedia. Akses mudah, akomodasi yang nyaman, tempat makan enak dan murah, tempat sewa peralatan – dari snorkeling, menyelam, naik gunung, berkemah, dll – serta sejumlah atraksi menarik adalah di antaranya. Tak heran kemudian jarang sekali kita membahas pariwisata dan masyarakat lokal. Ada apa dengan masyarakat lokal? Bukankah mereka pihak yang paling banyak menerima manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata? Benarkah begitu? Benarkah maraknya pariwisata di sebuah kawasan serta merta membawa manfaat ekonomi, pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat lokal? Bagai rumah yang didatangi banyak tamu tiap hari Pada 27 Oktober 2014, bersama para menteri baru Kabinet Kerja, Pak Arief Yahya dilantik sebagai Menteri Pariwisata. Adapun target yang ditetapkan Presiden Jokowi untuk beliau yaitu mendatangkan 20 juta wisatawan asing ke Indonesia, pada 2019. Wow....sebuah angka yang fantastis! Walau tidak pernah dijelaskan dari mana angka tersebut muncul. Saya yakin bukanlah hal yang sulit bagi beliau untuk mencapai target tersebut. Mengingat sebelumnya beliau adalah Dirut PT Telkom Indonesia yang pernah menerima penghargaan The CEO BUMN Inovatif terbaik (2012) dan Marketeer of the Year (2013). Semua keindahan alam – pantai, bawah laut, danau, hutan, goa & gunung -, keanekaragaman hayati dan sejuta atraksi budaya ada di Indonesia. Dari dasar laut hingga puncak gunung, semua ada di Indonesia. Mahakarya Tuhan yang siap dijual ke pasar wisatawan asing. Kemajuan teknologi informasi yang memudahkan kita mempromosikan kawasan pariwisata dengan sangat cepat. Dalam hitungan detik, sebuah foto yang melukiskan keindahan kawasan Raja Ampat atau puncak Gunung Rinjani, tersebar ke segala penjuru. Tapi sebelumnya....pernahkah membayangkan, jika rumahmu sering kedatangan tamu? Awalnya satu dua orang saja. Lalu keesokan harinya ada sepuluh orang. Dan di hari berikutnya bertambah menjadi dua puluh, seratus, dua ribu, lima ratus ribu dan terus bertambah. Begitu seterusnya, setiap hari, sepanjang tahun. Jika tadinya kamu bebas tidur di kamar sendiri, beraktivitas di ruang keluarga, mendapat jatah makanan yang cukup. Tiba-tiba kamu seperti tak mempunyai ruang di rumahmu sendiri. Tidur tidak bisa lagi nyaman di tempat tidur sendiri, ruang keluarga menjadi sangat sempit dipenuhi tamu-tamu yang menginap, tak bisa lagi bermain di halaman karena penuh oleh kendaraan para tamu. Bahkan kadangkala tak kebagian makan karena harus berbagi dengan para tamu. Semua dikorbankan demi kenyamanan dan kepuasan para tamu, para wisatawan. Nah seperti itulah kira-kira analogi kehidupan masyarakat lokal yang tempat hidupnya didedikasikan untuk wisatawan. Di banyak tempat, masyarakat kehilangan ruang hidupnya akibat kegiatan pariwisata. Seperti kata Paul Theroux, seorang penulis perjalanan, bahwa ketika sebuah tempat mendapat reputasi sebagai surga, maka pada saat itu juga berubah menjadi neraka. Akankah Indonesia berubah menjadi neraka bagi wisatawan? Sejuta masalah di kawasan pariwisata Jika Anda sudah menyaksikan film dokumenter “Bye-bye Barcelona,” pasti sangat paham akan apa yang saya maksudkan dengan 'sejuta masalah pariwisata bagi masyarakat lokal'. Tapi boleh saja Anda tidak percaya dan bahkan mencibir pada pernyataan saya di atas. Apalagi jika Anda adalah seorang pejalan sejati yang menyaksikan sendiri bagaimana sebuah daerah berkembang karena turisme. Namun, ijinkan saya mengajak Anda pelesir ke beberapa tempat, yang bisa jadi sudah pernah Anda datangi. Mari kita lihat, beberapa masalah akibat pariwisata di sana. #1. Sumber daya air Jika Anda pernah ke Pulau Kaledupa di Wakatobi, pasti tahu bagaimana sulitnya warga di sana mendapatkan air bersih. Di pulau seluas 64,8 km2, hanya terdapat dua sumur, yaitu Tee Uhu dan Tee Waloa. Namun hanya Tee Waloa yang airnya jernih, bisa dipakai untuk masak dan minum. Pernyataan Pak La Beloro di awal tulisan, mewakili kondisi banyak wilayah di Indonesia yang mengalami kesulitan air. Namun pada saat bersamaan warga harus membagi air bersih yang hanya sedikit dengan turis-turis yang menginap di hotel atau resort. Tak jauh berbeda dengan masalah yang dialami warga kota Yogyakarta. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan, terutama di musim libur, berdampak pada banyaknya lahan – yang awalnya perumahan, sekolah, bangunan cagar budaya - beralih fungsi menjadi hotel. Di tahun 20014, inisiatif warga lokal yang dikenal dengan Warga Berdaya, menyampaikan pesan “Jogja Ora Didol” pada pemerintah kota akibat maraknya pembangunan hotel , apartemen dan mall di Yogya yang mengabaikan kepentingan warga. Keberadaan hotel-hotel yang diperuntukkan bagi turis, kemudian merampas ketersediaan air bersih. Keringnya sumur-sumur warga karena habis disedot hotel/apartemen di sekitar mendorong seorang warga melakukan aksi teatrikal di depan Hotel Fave, Jl. Kusumanegara (6/8/2014). [caption id="" align="aligncenter" width="498" caption="Aksi teatrikal mandi pasir sebagai bentuk unjuk rasa akan keringnya sumur yang kering disedot Hotel Fave di Jl. Kusumanegara. (sumber: Gerakan Literasi Indonesia/ literasi.co)"]
Aksi teatrikal warga Miliran sebagai bentuk unjuk rasa akan keringnya sumur yang kering disedot Hotel Fave di Jl. Kusumanegara. (sumber: literasi.co)
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="Aksi teatrikal gosok gigi dengan pasir di depan Hotel Fave, Jl. Kusumanegara. (sumber: donnyverdian.net)"]
[/caption] Oktober 2014, akibat menjamurnya pembangunan hotel yang menyedot sumur warga, Warga Berdaya pun kembali membuat aksi bersama. Kali ini dengan membuat mural besar dengan pesan “Jogja Asat” yang artinya Jogja kekeringan. (Videonya bisa dilihat di sini) Kondisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah lebih mendahulukan kepentingan turis yang hanya 1-2 hari di Jogja, daripada kepentingan warganya sendiri. Sekaligus juga bukti lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah sendiri. #2. Sampah Ketika pergi berlibur ke tempat-tempat wisata, terutama yang lokasinya terpencil , pernahkah terlintas pertanyaan, “Kemanakah sampah-sampah yang dihasilkan warga dibuang?” Masih ingat bagaimana di akhir tahun 2009, Pulau Tidung mendadak naik daun di kalangan wisatawan karena pantai dan pemandangannya? Namun dalam waktu setahun, popularitasnya berubah sebagai kawasan wisata penuh sampah? Bayangkan saja, di tiap akhir pekan panjang di tahun 2009-2010, diperkirakan ada 1000-2000 pengunjung yang datang berlibur ke pulau kecil tersebut. Sementara jumlah populasi di Tidung sekitar 5000 orang. Pulau Tidung hanyalah contoh. Sampah adalah masalah umum yang ada di hampir tiap kawasan wisata & ruang publik. Semakin banyak pengunjung, maka semakin banyak sampahnya. Itu sudah menjadi rumusan bagi lokasi-lokasi wisata. Kita belum lagi bicara bagaimana praktek hotel, resort dan restoran yang membuang begitu saja limbahnya ke laut, sungai, atau danau. Ini lebih dikarenakan pemerintah belum melihat sampah sebagai masalah yang berpotensi menjadi bencana karena tidak ditangani dengan serius. #3. Kemacetan Setiap musim liburan, macet menjadi fenomena yang selalu terjadi di daerah-daerah destinasi wisata seperti Bali, Yogyakarta dan Bandung. Kebijakan pemerintah yang tidak pro angkutan publik berdampak sangat signifikan pada kehidupan warga di kota wisata. Tidak adanya fasilitas angkutan umum di daerah wisata tentu saja berdampak pada maraknya jasa penyewaan motor dan mobil. Sepintas, masalah transportasi bagi turis yang ingin melancong selesai, walau memaksa turis merogoh kocek dalam-dalam. Namun hal ini bagaikan bom waktu bagi keberlangsungan hidup kota. Ketiadaan fasilitas angkutan umum dan banyaknya turis yang datang berlibur merupakan kombinasi sempurna bagi penurunan kualitas hidup warga. Polusi, bising, macet, ruang jalan dan trotoar habis untuk parkir. Alhasil, warga setempat bahkan tak bisa menikmati kotanya sendiri di hari libur. Harusnya Kementerian Pariwisata dapat berperan mendesak pemda/pemkot yang enggan menyediakan angkutan umum yang handal. #4. Sumber pangan lokal Suatu kali saya pernah berkunjung ke pulau di mana ikan laut jadi salah satu bahan pangan utama. Namun suatu hari, ketika saya ingin berbelanja ikan segar ke pasar, lapak yang biasa yang menjual ikan tampak kosong. Pedagang di sekitar lapak tersebut mengeluh akan buruknya cuaca sehingga hasil tangkapan sedikit sekali dan semuanya habis dibeli hotel. Kondisi langkanya ketersediaan sumber pangan ini sering terjadi di kawasan yang terpencil dan bukan penghasil sumber bahan pangan. Jika saja sehari-hari warga sudah sulit mendapatkan pangan, bukankah kehadiran turis di kawasan ini hanya mempersulit ketersediaan pangan di daerah tersebut? #5. Privatisasi ruang publik Tak banyak yang tahu bahwa atas nama pariwisata, dua dusun di dekat Candi Borobudur digusur, di tahun 1990an. Kebijakan ini membawa trauma cukup mendalam bagi warga dusun karena kemudian banyak anggota keluarga yang terpaksa hidup di dusun yang terpisah dengan jarak yang cukup jauh. Warga yang tadinya dapat melintasi Borobudur dengan bebas untuk ke dusun tetangga atau bahkan mengambil nira pada pohon-pohon kelapa di sekitar Candi Borobudur, kini tak bisa lagi. Akses melintasi candi telah ditutup pagar oleh PT. Taman Wisata. Begitu juga dengan lahan-lahan di pesisir pantai yang sebelumnya dapat diakses warga gratis. Tempat nelayan menyandarkan perahunya sepulang mencari ikan. Tempat pemuda-pemudi dapat sekedar duduk-duduk gratis bercengkerama sambil main gitar dan bakar ikan. Tiba-tiba suatu hari banyak hotel dan resort berdiri di kawasan tersebut. Pantai indah yang dihadirkan secara gratis oleh Tuhan, kini hanya bisa dinikmati oleh pemilik dan tamu hotel. #6. Sampah kultural Pernahkah Anda merasa geli dengan desa-desa wisata yang melakukan kegiatan tanam padi setiap hari karena permintaan wisatawan? Atau merasa miris akan upacara-upacara tradisional yang diadakan tidak pada waktunya, demi memberikan ‘atraksi menarik’ bagi turis? Di daerah wisata seperti Yogyakarta dan Bali, turis yang menggunakan celana pendek ketat & kaos ‘you can see’ berjalan-jalan di tengah kampung, berjemur di pantai dengan bikini atau pemuda bertelanjang dada melaju di jalan raya, sudah menjadi pemandangan yang lazim. Membuat kita sebagai tuan rumah risih melihatnya . Atau bahkan ingin juga meniru budaya mereka. Suatu hari, beberapa pegiat Kelompok Sadar Wisata di sebuah dusun di dekat Candi Borobudur pernah menyampaikan keluhannya akan turis asing yang mengenakan pakaian minim. Untuk itu mereka berniat memberikan sarung batik bagi tiap turis asing yang akan berwisata di dusun mereka. Ini belum termasuk virus komersialisasi yang mewabah. Bagaimana warga non-perkotaan jadi sangat mata uang, berharap bayaran atas semua kebaikan yang telah dilakukan. Mereka tak lagi malu meminta uang ketika difoto oleh turis.
*** Penjabaran di atas baru sebagian kecil dari sederetan panjang hal buruk yang ditawarkan pariwisata bagi kehidupan masyarakat lokal. Kita belum lagi membahas kebutuhan listrik, BBM, alih fungsi lahan pertanian & perkebunan, pembelian pulau oleh warga asing, meningkatnya harga tanah, KKN, kegiatan vandal yang merusak obyek wisata, rusaknya terumbu karang dan keanekaragaman bawah laut, masyarakat lokal yang hanya jadi penonton dan lalu tersingkir dari tanahnya sendiri, penjualan minuman keras & alat kontrasepsi, pelacuran, dsb. Lalu, apakah pariwisata merupakan kegiatan yang harusnya dilarang? Apakah kegiatan pariwisata adalah sebuah dosa? Tentu saja tidak! Setiap orang butuh pelesir, baik di dalam atau ke luar kota. Dan sejatinya, berwisata merupakan salah satu cara belajar dengan cara mengamati, merasakan dan mengalami langsung. Namun tentunya perlu sejumlah kehati-hatian agar pelancong mendapatkan banyak manfaat tanpa harus merusak kehidupan masyarakat lokal & keanekaragaman hayati setempat. Untuk itu perlu peran pemerintah. Permasalahannya, sejauh ini kementerian pariwisata sibuk menjual keindahan alam Indonesia. Sibuk menciptakan destinasi-destinasi pariwisata baru & menjual eksotisme daerah tersebut ke wisatawan mancanegara. Lihatlah kegiatan promosi wisata bahari Sail Bunaken (2009), Sail Banda (2010), Sail Wakatobi-Belitung (2011), Sail Morotai (2012), dan Sail Komodo (2013) yang menghabiskan milyaran hingga trilyunan anggaran negara, namun hanya berifat
artificial dan malah menimbulkan masalah bagi masyarakat lokal. Kondisi di atas memunculkan pertanyaan mendasar di benak saya.
“Sebenarnya kementerian pariwisata punya gak sih perencanaan pengembangan kawasan pariwisata yang sesuai dengan kaidah sustainable tourism? Pernahkah Kemenpar melakukan analisa daya dukung lingkungan dan dampak serta mengembankan strategi untuk menekan dampak-dampak buruk yang akan muncul dari kegiatan pariwisata di kawasan tersebut?” Bayangkan jika di tahun 2019, kita akan kedatangan tamu asing sebanyak 20 juta orang, di saat negara sendiri belum mampu menyediakan kebutuhan pangan, air bersih, pengolahan sampah, layanan kesehatan, angkutan umum dan berbagai layanan/ fasilitas publik yang memadai bagi warganya. Belum lagi lemahnya penegakan hukum.
[Bersambung ke: #2 Targetnya 20 juta wisatawan: Belajarlah dari negara tetangga!]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya