Mohon tunggu...
Indah Meitasari
Indah Meitasari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Program Magister Sosiologi FISIP UI

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Eksklusi Sosial dalam Sekolah Bertaraf Internasional

8 November 2012   16:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:44 2191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal istilah Eksklusi Sosial muncul di Prancis Prancis 1974 yakni semua orang atau individu yang tidak masuk dalam sistem jaminan sosial. Definisi ini mengalami perluasan dalam makna, termasuk orang-orang baik individu atau kelompok yang tidak tercakup dalam kelompok sasaran kebijakan pemerintah pada umumnya (tidak saja di Prancis). Rene Lenoir (French Government) yang mengemukakan adanya sepuluh kategori penduduk Prancis yang terekslusikan, yakni : cacat fisik mental, orang-orang putus asa (suicidal people), para jompo, anak-anak korban perilaku kekerasan, penyalahguna zat-zat, kenakalan, orangtua single, berbagai persoalan rumah tangga (multi-problem households), marjinal, orang-orang asosial, dan masalah sosial lainnya. Dalam perkembangannya, dinamakan “Socially Excluded” sebagaimana yang dikemukakan oleh Hilary Silver dalam Reconceptualizing Disadvantage bahwa daftar dari beberapa literatur mengenai masyarakat yang di eksklusikan, harus dimasukkan dalam beberapa kategori berikut : A livelihood; secure, permanent employment, earnings; property, credit, or land, housing, minimal or prevailing consumption levels; education, skills, and cultural capital, the welfare state, citizenship and legal equality, democratic participation, public goods, the nation or dominant race, family and sociability; humanity, repect, fulfilment and understanding. Bahwa orang-orang yang tereksklusi secara sosial adalah kelompok yang terpinggirkan atau marjinalisasi. Dari kategori diatas, hal tersebut berkaitan dengan keterpinggiran dari kehidupan sekitarnya, tidak aman, tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak punya tabungan sehinggga tidak dapat memiliki properti, mendapatkan kredit rumah atau tanah selain itu tidak bisa memenuhi tingkat batas minimal konsumsi yang layak dalam hal pendidikan, keterampilan dan modal budaya, tidak berada dalam negara sejahtera, kewarganegaraan, kesamaan hukum, partisipasi politik, fasilitas umum, dominasi negara atau ras, tidak merasa berada dalam keluarga dan berkehidupan sosial yang bermakna seperti saling menghormati, saling melengkapi dan saling pengertian. Istilah Eksklusi Sosial seringkali digunakan untuk menggambarkan situasi dimana terjadi deprivasi manakala individu tidak dapat berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat, seperti tidak dapat mencari pekerjaan, mengisi kegiatan waktu luang, berpartisipasi dalam pemungutan suara ketika pemilihan umum. Berkaitan dengan ekslusi sosial adalah kemiskinan sebagai faktor utama penyebabnya. Kemiskinan terdiri dari dua karakterisitk, yakni pertama, Kemiskinan Absolut yang biasanya digunakan ukuran berdasarkan subsistence atau jaminan, yakni orang-orang yang dalam kemiskinannya tidak dapat memiliki sumber-sumber untuk menopang kehidupanannya. Kedua, Kemiskinan Relatif dimana definisi ini harus dihubungkan pada standar-standar masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Pemikiran mengenai Eksklusi Sosial menurut Amartya Sen, secara konspetual memiliki keterkaitan dengan kemiskinan dan deprivasi. Karakteristik dari kemiskinan adalah keterbatasan penghasilan yang sejak dahulu dikaitkan dengan deprivasi (kehilangan akses) dan kemelaratan dimana tidak adanya penghargaan yang dilihat berdasarkan penghasilan yang berpengaruh dalam kehidupan. Ketidakcukupan penghasilan dan penghasilan yang rendah membuat hidup miskin. Namun sebenarnya kemiskinan harus dilihat dalam istilah kehidupan miskin (poor living) dari pada rendahnya penghasilan (dan tidak memiliki apa-apa). Penghasilan mungkin lebih banyak sebagai upaya nyata untuk mendapatkan kehidupan yang baik tanpa deprivasi. Menurut Sosiolog Prancis Emile Durkheim, eksklusi mengancam solidaritas sosial. Secara filosofis proses ekslusi ini mengancam, karena ada kelompok-kelompok didalam masyarakat yang tidak dianggap dan tidak masuk dalam kelompok yang menjadi sasaran target kebijakan pemerintah. Keberadaan mereka dikesampingkan secara sosial, politik dan ekonomi. Termarjinalisasi bukan hanya oleh pemerintah, tetapi oleh masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu landasan moral ekslusi sosial mulai dari definisi, analisa sampai hasil selalu negatif. Bila Durkheim melihat masyarakat berkembang kalau ada solidaritas sosial, maka ekslusi sosial merupakan ancaman integrasi karena sekelompok orang sudah mengeksklusikan kelompok yang lain. Bila mengancam integrasi, maka eksklusi dan deprivasi relatif rentan dengan konflik, yang secara makro akan mengancam persatuan bangsa yang berada dalam Negara Kesatutan Republik Indonesia. Atribut kemiskinan senantiasa melekat di negara-negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia, oleh karena itu penanganan untuk mengatasi permasalahan yang ada harus serius dilakukan oleh para penyelenggara negara untuk mengentaskan masyarakat dalam belenggu kemiskinan. Pembangunan seharusnya bertujuan memperkecil atau menghapus ketimpangan yang mengacu pada standar hidup relatif masyarakat. Adanya kesenjangan yang terlalu besar antara kaya dan miskin harus teratasi. Pembangunan Berdasarkan data Susenas 2006 Jumlah penduduk miskin di Indonesia 37,2 juta jiwa (16,6%). Angka tersebut masih tinggi. Tingginya angka penduduk miskin di Indonesia menunujukkan bahwa pembangunan tidak sepenuhnya berhasil mensejahterakan rakyat. Pembangunan pertumbuhan ekonomi lebih memperbesar jurang antara yang kaya dan miskin. Angka penurunan garis kemiskinan, hanyalah “sekedar” angka statistik semata, tetapi penduduk yang miskin jumlahnya masih banyak dan secara kasat mata tampak terlihat di berbagai tempat dan daerah di tanah air. “Pembangunan sosial sering diartikan sebagai usaha untuk menghilangkan atau mengurangi masalah-masalah sosial yaitu suatu masalah yang mengganggu kehidupan orang banyak (kejahatan kenakalan remaja, pelacuran dsb). Konsep ini masih terlalu sempit. Pembangunan Sosial Budaya mencakup pembangunan sendi-sendi masyarakat yang paling mendasar seperti integrasi nasional (pembangunan societal) yang dapat menghasilkan resilience (ketahanan budaya terhadap berbagai tantangan dari luar dan dalam), sustainability (suatu kemampuan mempertahankan dan mengembangkan kemajuan yang telah dipeoleh) dan pemberdayaan (suatu penguatan pada komponen-komponen dalam masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri secara mandiri)”. Berdasarkan konsep tersebut di atas, seharusnya tujuan pembangunan bersifat inklusi bukan eksklusi, yakni antara lain bertujuan agar tercipta integrasi, ketahanan budaya dari luar, mengembangkan kemajuan dan pemberdayaan. Bila yang dibangun manusianya, dalam hal ini rakyat, maka diharapkan semakin memperkecil ekslusi sosial. Karena yang dibangun bukan sekedar materi atau fisik semata berupa jumlah bangunan sekolah yang didirikan, rumah sakit, panti, rumah penampungan dsb. Salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan sosial adalah Kebijakan Pendidikan. Bila dilihat dari tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 bahwa salah satu cita-cita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan diperkuat oleh pasal yang terdapat didalamnya mengenai wajib belajar, maka tentunya merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk membiayai pendidikan sesuai amanat konstitusi. Namun otoritas pemerintah dalam pendidikan begitu mendominasi, dan kurang  memberi kesempatan masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Adanya pergeseran komoditas publik menjadi privat dengan kebijakan privatisasi pendidikan dimulai dari perguruan tinggi melalui Badan Hukum Milik Negara memiliki implikasi dimana biaya kuliah di perguruan tinggi negeri semakin tak terjangkau oleh kalangan bawah untuk melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Dalam perkembangan terakhir, pemerintah menjadikan sekolah biasa-biasa saja menjadi sekolah berlabel internasional, melalui Rintisan Sekolah Berstandar Internasional atau disingkat RSBI. Sebelum menjadikan sekolah berstandar internasional, sekolah sudah memiliki jenjang peringkat dengan adanya sekolah unggulan, sekolah percontohan dan label peringkat lainnya yang menunjukkan bahwa sekolah meskipun sekolah negeri memiliki lapisan kelas berdasarkan peringkat kelulusan para siswanya pada ujian nasional. Semakin tinggi nilai kelulusan siswnya, maka sekolah itu semakin tinggi peringkatnya dan masuk kedalam daftar sekolah unggulan yang menjadi incaran orangtua murid untuk menyekolahkan putera-puterinya di sekolah tersebut. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, ketika anak bersekolah di sekolah SMA negeri unggulan, maka didalam lingkungan sekolah pun sudah terlihat, siapa saja murid-murid yang diterima di sekolah tersebut. Ketika nama-nama tercantum di papan pengumuman sekolah dan calon orangtua murid berdatangan untuk mendaftar ulang dengan menaiki kendaraan pribadi, maka sangat jelas terlihat bahwa sebagian besar yang diterima disekolah unggulan adalah anak-anak yang berasal dari kalangan atas. Uang pendaftaran atau uang pembangunan dan pungutan lainnya saat itu sejumlah sepuluh juta rupiah bukan jumlah yang sedikit, dan hanya mungkin dijangkau oleh kalangan menengah ke atas. Meski ada kemudahan pembayaran melalui cicilan atau keringan bagi yang tidak mampu, tetapi jelas sekolah tersebut hanya untuk kalangan mampu. Apakah pendidikan untuk semua? Tentu harusnya semua bisa bersekolah, tapi hanya anak-anak kalangan menengah ke atas yang dapat menikmati sekolah berkualitas atau sekolah unggulan. Sedangkan yang tidak mampu secara finanial hanya dapat bersekolah di sekolah biasa-biasa saja. Lapisan kelas sosial menentukan seorang anak bersekolah dimana, yang sejatinya pendidikan berkualitas harus bekeadilan. Semua anak berhak menikmati pendidikan berkualitas. Terjadi eksklusi sosial bagi anak miskin untuk mendapat pendidikan. Seandainyapun dia berhasil diterima di sekolah unggulan dan mendapat keringanan biaya dari sekolah, namun label “anak miskin” akan tertanam di dirinya, belum lagi sikap dan perlakuan teman atau (mungkin saja) guru yang membedakan dirinya dengan teman-temannya yang anak orang kaya, akan menjadikan dirinya tereksklusi. Bila Hilary Silver melihat eksklusi sosial berdasarkan paradigma solidaritas, spesialisasi dan monopoli, maka dari paradigma solidaritas, ketika ada “moral komunitas” yang terbangun disekolah ungulan berupa sekolah anak orang-orang kaya dan pintar, maka anak tidak mampu akan tercampakkan. Keadaan ini semakin diperparah, ketika sekolah unggulan tersebut membuka kelas RSBI atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Siapa yang mampu membayar puluhan juta akan dterima di sekolah memiliki standar Internasional, dimana guru-gurunya berbahasa Inggris dan bahkan ada guru yang bewarga negara asing. Terjadi deprivasi relatif , ketika seorang anak miskin hanya bisa terkagum-kagum melihat teman-temannya meski satu sekolah, tapi beda lapisan kelas sosial. Ada temannya yang menjinjing laptop atau gadget canggih, sedangkan dirinya hanya telepon genggam murahan atau bahkan tidak punya. Ada murid yang pergi ke sekolah naik kendaraan umum, ada yang diantar supir dan ada yang membawa mobil sendiri. Gaya hidup berbeda-beda ditentukan apakah si murid yang masuk dalam sekolah unggulan tapi status “biasa” atau murid sekolah unggulan tapi statusnya kelas internasional, dan semuanya berada dalam satu sekolah. Ilustrasi berdasarkan pengamatan dan pengalaman (anak) mungkin tidak bisa digeneraliasikan, tapi hal ini dapat memberikan kesan bahwa pendidikan seharusnya bersifat inklusi bukan eksklusi, Pendidikan harus merangkul semua anak, termasuk anak-anak marjinal secara intelektual atau sosial, juga apakah dia cacat secara fisik maupun mental. Peringkat sekolah berdasarkan nilai ujian nasional serta peringkat anak berdasarkan sistem ranking seharusnya dihapus agar lebih merangkul semua anak dari berbagai kalangan. Pendidikan bukan saja harus berkualitas tetapi juga harus berkeadilan. -meita- (Gambar diambil dari dwadaniel.peu.blogspot.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun