Kenyataannya, saiga-saiga itu mati karena bakteri Pasteurella multocida, yang selama ini hidup damai di amandel saiga, secra tiba-tiba jumlahnya meningkat dan masuk ke aliran darah hingga menginvasi organ-organ vital. Setelah dilakukan serangkaian penelitian, didapat kesimpulan bahwa jumlah bakteri yang meningkat di tubuh Saiga adalah karena saat itu udara yang terlalu panas (untuk ukuran daerah itu) dan lembab. Saat itu kelembabannya tertinggi sejak pertama kali dilakukan pencatatan pada tahun 1948.
Aku ngeri membayangkan bakteri-bakteri baik yang sudah bersimbiosis dengan ramah di tubuh manusia selama ini menjadi ancaman bagi tubuh. Ini kita baru membicarakan tentang wabah. Masih ada 11 hal mengerikan yang akan terjadi karena kenaikan suhu global.
Solusinya apa?
Menurut Wallace-Wells, penulis buku 'Bumi yang Tak Dapat Dihuni' ini, pilihan gaya hidup individu tidak berpengaruh banyak kecuali kalau skalanya diperbesar oleh politik. Kalau cuma aku sendirian yang menggunakan plastik berkali-kali sedangkan orang lain masih menggunakan plastik sekali pakai, Bantar Gebang jelas tetap penuh. Kalau kamu sendiri yang naik KRL sedangkan jalanan di Jakarta masih macet, ya udara jelas masih tercemar dan efek rumah kaca tetap tinggi.
Untuk melakukan perubahan di muka bumi ini, kita butuh bergerak bersama. Bukan sendiri-sendiri.
Data Buku:
Judul: Bumi yang Tak Dapat Dihuni (judul aslinya The Uninhabitable Earth)
Penulis: David Wallace-Wells
Edisi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H