Aku masih memperhatikan mobil yang digunakan untuk mengangkut bansos yang dibagikan itu. Sebuah mobil kijang polos tanpa atribut apapun.Â
Aku lihat, plastik kemasan yang digunakan untuk membungkus bantuan tersebut juga plastik polos berwarna kuning. Cukup patut untuk diapresiasi untuk memberikan bantuan tanpa atribut apa-apa.
Di kabupaten sebelah, dari berita yang aku baca di garudanews.id, kemasan bantuan yang dibagikan oleh pemerintah dibubuhi stiker foto bupatinya.Â
Ini membuat Ketua LSM Solidaritas Transparansi Pemerhati Indonesia angkat bicara. Bantuan yang disalurkan ke masyarakat kan pakai anggaran pemerintah kabupaten yang sebenarnya adalah uang rakyat. Kenapa foto bupatinya yang dipajang?
Benar juga, sih.
Melalui penelusuranku di internet, aku mendapat informasi menarik dari bekasi.pojoksatu.id. KTP elektronik yang didistribusikan oleh Disdukcapil kabupaten ini melalui pos menggunakan amplop bergambar bupati dan kantornya. Sepertinya, ini sudah tradisi. Hahaha.
Aku mencoba berfikir positif. Siapa tahu bupati ini sedang berusaha memperkenalkan diri lewat fotonya yang disebar ke masyarakat. Jadi, suatu saat beliau sedang santai berjalan-jalan, masyarakat akan menyapa beliau.
Walaupun lucu juga kalau ada masyarakat yang tidak mengenali bupatinya. Sebelum social distancing diberlakukan, aku pernah lihat Farhat Abbas lho di CFD Kota Bekasi. Dan beliau tampil mencolok dengan pengawal dan videografernya. Sekelas bupati pasti lebih mencolok lagi, donk? Masak bupati tidak punya pengawal dan dikerumuni wartawan?
Kalau aku boleh saran pada Pak Bupati, sebaiknya, barang-barang yang dibagikan ke rakyat jangan dikasih stiker foto Pak Bupati. Baik KTP, sembako, atau yang lainnya.Â
Biarkan itu dibagikan masyarakat dengan kemasan polos. Toh kalau KTP, kita tahu kok barang itu datang dari mana? Tidak mungkin ada yang mengira kalau KTP dibuat di rumahku, kan?
Petugas pembagi sembako juga pasti sudah memberitahu penerima dari mana barang ini berasal. Petugas pasti minta tanda tangan penerima bantuan, kan?Â