Yah, kalimat itu cukup bagiku. Kalimat itu cukup menguatkanku memulai lembaran baru. Kalimat itu cukup untuk menjadi tameng dari orang-orang yang bilang, "sayang banget sekolah apoteker, tenaga kesehatan, tapi pekerjaannya jualan buku."
FYIÂ saja, apoteker itu bukan tenaga kesehatan. Apoteker adalah tenaga penunjang medis. Dan aku nggak peduli dengan omongan orang. Toh bukan mereka yang mengeluarkan uang untuk pendidikanku.
Setahun yang lalu, suamiku mendapatkan bonus yang cukup besar. Dia menjadikan uang itu sebagai modal untuk menjadi reseller buku-buku dari sebuah penerbit. Yah, namanya dulu baru mulai ya. Kami masih belum tahu apa yang harus kami lakukan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, dengan uluran bantuan dari banyak orang baik (terutama dari pihak penerbit dan penulis), kami sudah berjalan jauh dari tempat kami mulai dulu. Walaupun perjalanan kami masih belum selesai. Kami memang belum mencapai tempat yang mapan.
Saat ini, dengan Bukumee, aku lebih menikmati kehidupanku. Menurutku, menjadi pedagang buku ini adalah pekerjaan yang berharga. Aku bisa bereksperimen dan memaksimalkan kemampuan dan pengetahuan yang aku miliki. Ini yang sulit aku lakukan saat masih bekerja sebagai apoteker karena satu dan lain hal.
Aku bisa mempraktekkan tips yang aku dapat di internet, mengadakan promo ini dan itu, membuat konsep desain di sosial media (yang mengeksekusi desain adalah suamiku karena aku masih segaptek itu), melakukan promosi di marketplace, dan sebagainya. Ada otonomi yang aku miliki. Ada hubungan usaha dan imbalan yang aku rasakan.
Aku juga memiliki banyak waktu untuk membaca dan menulis. Ya, aku malah dituntut untuk lebih banyak membaca. Tapi aku menikmati prosesnya. Aku rasa, ini baik untuk kesehatanku.
Kemarin, di sosial media, aku melihat seorang bidan membagikan lowongan pekerjaan. Dia menulis, "loker untuk di klinik. Dibutuhkan D3 apoteker. Berminat chat me."
Well, nampaknya, dunia lama belum berubah. FYI lagi, tidak ada apoteker yang lulusan D3. Seseorang mendapatkan gelar apoteker kalau sudah lulus sarjana farmasi dan melanjutkan kuliah ke jenjang profesi apoteker.
Bukan apa-apa. Dulu, ketika aku kuliah, aku belajar etika profesi. Kami mengenali apa yang menjadi tugas kami dan di mana wilayah kerja kami. Kami juga mengetahui siapa kolega kami, apa tugas mereka, sejauh apa wewenang mereka, dan bagaimana kami bisa bekerja sama untuk sebuah tujuan yang besar. Namun prakteknya, yang aku temui, orang-orang tidak ada yang peduli. Yang mereka pedulikan adalah apa yang mereka anggap benar.
Biarlah. Sekarang aku sedang menikmati dunia baruku. Mungkin di mata orang aku masih menyedihkan dan menderita. Tidak semua orang yang aku kenal mendukungku. It's okay. Sebagai gantinya, aku mendapat banyak uluran tangan dari orang-orang yang tidak terduga. Orang-orang yang sebelumnya tidak aku kenal, kini menjadi teman baik.