Dua hari ini, matahari bersinar dengan cerah. Banjir yang sempat menghebohkan sejak kemarin lusa, tinggal menyisakan genangan di cekungan-cekungan jalan. Walaupun terbatas, para pedagang kembali menggelar lapakan mereka. Setidaknya, ini yang terjadi di tempat tinggalku.
Pagi ini, orang-orang yang mengungsi di musola sebelah rumahku sudah kembali ke rumahnya masing-masing untuk membereskan tempat tinggalnya. Aku rasa, dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain, daerah tempat tinggalku tidak parah. Tidak ada mobil yang bertumpuk-tumpuk di satu tempat seperti yang terlihat di media massa.
Namun tetap saja, ini adalah hal yang menyedihkan. Bukan hanya tempat tinggal kami yang butuh ditata. Kami juga harus menata hati dan pikiran kami untuk bisa berlapang dada mengiklaskan yang pergi, bertahan dengan segala yang terbatas, dan menghadapi hari esok lagi.
Aku rasa, ini masih belum waktunya untuk mendebat apapun. Tapi siang ini, aku merasa panas saja membaca sebuah status yang dibuat oleh temanku yang tidak tinggal di wilayah Jabodetabek. Dia bilang, "Jakarta katanya banjir. Kasihan sih. Tapi kalo ingat apa yang mereka lakukan ke Ahok saya kira setimpal. Tuhan bayar lunas."
Aku sampai menarik dan menghela nafas berkali-kali setelah membacanya. Aku nggak mau berprasangka buruk. Mungkin dia sudah menyumbang sesuatu melalui suatu yayasan atas nama hamba Allah untuk membantu korban banjir seperti kami. Tapi perlu banget nggak sih berkomentar seperti itu?
Apakah dia membaca berita bahwa terjadi peningkatan intensitas curah hujan ekstrim pada saat banjir kemarin? Malahan, ini adalah curah hujan tertinggi sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta sejak tahun 1866.
Dan yang banjir bukan cuma Jakarta lho, halooo...
Adalagi seorang terkenal yang menulis status, "buat yang semalam nggak maksiat tapi ikut kena dampak azab banjir, nyeselkan Anda? Kalo tahu sama-sama kena banjir juga mending semalem mabok. Kami basah-basahan tapi dalam keadaan senang."
Boleh nggak sih habis banjir ini surut dan semua kondisi tenang, dia diarak keliling kota kemudian dibuang ke laut?
Aku kurang setuju dengan kata-kata kalau banjir itu karena maksiat. Menurutku, banjir itu karena kita berdosa dengan alam. Mungkin bukan kita yang buang sampah di sungai. Mungkin bukan kita yang menguruk danau untuk dibuat rumah. Mungkin bukan kita yang membangun villa di puncak atau membalak hutan. Tapi kita membiarkan itu semua terjadi.
Tapi nggak gitu juga ngomongnya. Lelucon itu nggak kayak gitu. Dan enggak disampaikan saat orang-orang lagi kena musibah. Itu namanya ngeledek. Lo emang beneran seneng kebanjiran?
Heran deh, kenapa sih orang-orang ini kok ya pada nggak ada empatinya?
Masak orang harus mengalami kebanjiran dulu sebelum bisa berkata bijaksana pada orang lain yang terkena musibah? Apa iya sih dia bisa merasa senang kalau terkurung di atap rumah dikelilingi banjir?
Buat orang-orang yang hobi berkomentar seperti itu, aku sarankan bacalah novel banyak-banyak. Kalau tidak suka membaca, nonton film, gih. Atau ngapain aja deh. Yang pasti, orang-orang ini harus belajar untuk bisa merasa sakit tanpa harus dipukul. Harus bisa merasa sedih tanpa harus kehilangan.
Semoga kami semua diberi kekuatan untuk membereskan hal-hal yang tersisa dari banjir ini. Semoga teman-teman yang masih berkutat dengan air diberi kesabaran. Dan semoga mereka yang sibuk berkomentar diberi hidayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H