Tengah malam tadi aku terbangun oleh suara petir yang memekak telinga dan disusul teriakan tetanggaku yang rumahnya kemasukan air. Aku sudah tidak mendengar rintikan air hujan dari luar. Jadi, darimana air yang memasuki rumah tetanggaku?
Aku menggapai ponsel dan melihat notifikasi di sana. Ada 3 panggilan tak terjawab dari adikku. Dia juga mengirim pesan kalau hujan turun dengan deras 1 jam yang lalu. Aku dan suamiku segera mengenakan jaket dan melihat kondisi di luar rumah.
Air sudah menggenangi jalanan depan rumah yang kami kontrak. Beberapa rumah di jalanan itu ada yang kemasukan air. Di bagian lain dari komplek ini, air yang lebih banyak dan genangan yang lebih tinggi sudah masuk ke rumah-rumah warga. Orang-orang mengungsi ke musola yang berada di  samping rumah yang kami kontrak.
Anak-anak menangis dan ada yang menjerit. Pemuda dan relawan bergerak dalam komando ketua RT dan ketua RW menyiapkan tempat dan membantu orang-orang. Sebuah mobil ambulan juga tersedia di ujung jalan yang tidak terkena banjir. Aku dan suamiku, menyaksikan semua keributan itu tanpa tahu apa yang harus kami lakukan.
Di media sosial, kami baru tahu bahwa air yang lebih banyak mengepung kami. Jalan Agus Salim dan Jalan Djuanda sudah seperti sungai yang siap mengalirkan airnya ke mana pun ada celah. Dua perumahan yang mengapit komplek tempatku tinggal, genangan airnya lebih tinggi lagi. Mobil-mobil milik warga berjajar di sepanjang pinggiran jalan Ki Mangun Sarkoro.
Kali Bekasi meluap. Itu pangkal banjir di tempat kami. Di Kota Bekasi. Di Kabupaten Bekasi juga. Mertuaku yang tinggal di daerah Sukawangi Kabupaten Bekasi, rumahnya sudah terendam air. Jalanan tergenang air tinggi. Mereka terisolasi. Bapak mertuaku tidak bisa berangkat kerja dan adik iparku tidak bisa berangkat kuliah.
Kalau mau ditarik penyebab yang lebih jauh, sesuatu terjadi di Bogor sana membuat mereka melimpahkan banyak air ke kami. Curah hujan yang tinggi karena pemanasan global, hutan yang dibuka untuk wisata, dan hal-hal lainnya. Entahlah. Aku hanya menduga-duga.
Yang jelas, aku bisa mengatakan bahwa warga komplekku beruntung. Ketua RT dan RWnya sigap. Sampai saat ini, pasokan bantuan untuk korban banjir berdatangan dan terkoordinasi dengan baik. Karang taruna membuat tenda dan dapur umum di halaman musola. Laki-laki menempati musola untuk tempat tidur sementara.
Seorang pemilik kontrakan, mempersilakan perempuan dan anak-anak untuk menempati kontrakannya yang kosong. Dibantu oleh pemuda, korban membersihkan kontrakan kosong itu supaya nyaman untuk ditempati.
Di group WA sebuah komunitas yang aku ikuti, ada teman-teman yang kesulitan untuk mendapatkan bantuan. Bahkan, akses mereka untuk keluar dari banjir pun sulit. Nomor telpon yang disebar oleh akun-akun resmi di media sosial susah untuk dihubungi. Mungkin, terlalu banyak orang yang menghubungi nomor telpon tersebut.
Boleh saja, orang-orang di Twitter saling perang pendapat siapa yang bersalah untuk bencana ini. Media dan SJW sudah berteriak-teriak tentang perubahan iklim dan apa dampaknya. Sayangnya, pemerintah belum memberikan perhatian yang memadai pada hal ini sampai hari ini. Kurasa mereka patut untuk disalahkan.
Namun mereka bisa bertanggung jawab nanti. Mereka bisa diingatkan lagi soal peraturan-peraturan yang berpihak pada lingkungan nanti. Mereka harus diingatkan untuk membuat langkah nyata supaya kejadian seperti ini tidak terulang kembali.
Sekarang, kami lebih butuh penanganan bencana. Adakah yang bisa dilakukan supaya air-air ini cepat surut? Selama air belum surut, apa yang bisa kita lakukan?
Banjir ini, mengingatkanku untuk hidup pada saat ini. Detik ini. Tidak perlu menuding siapa-siapa untuk apa yang sudah terjadi. Sekarang, bagaimana menangani masalah yang ada. Kalau belum ada solusi, apa yang bisa kita lakukan. Bukan hanya perkara banjir. Ini untuk perkara apa saja.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI