Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bekerja Keras Seperti Orang China

12 Desember 2019   11:58 Diperbarui: 12 Desember 2019   12:36 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana kita melihat masyarakat Tionghoa hari ini? Atau orang-orang China pada umumnya yang tinggal di Indonesia? Apakah teman-teman sepakat kalau aku bilang mereka pintar, kaya, dan pekerja keras?

Suamiku bekerja di sebuah perusahaan yang dimiliki oleh orang Cina. Suamiku bercerita, sebelum punya pabrik besar dan outlet yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, bosnya adalah penjual CD bajakan. Kemudian dengan keuletan dan kerja kerasnya, beliau bisa sampai di posisinya yang sekarang. Menarik kan ceritanya?

Ini hampir mirip dengan kisah yang dituliskan oleh Ali Romdhoni di bukunya yang baru terbit bulan ini, Kurma di Ladang Salju. Dhoni, adalah seorang mahasiswa doktoral di bidang Religious Studies di Universitas Heilongjiang Harbin, di Cina. Di universitas ini, laboratorium dan perpustakaan selalu ramai oleh mahasiswa yang mengerjakan tugas mulai pukul 7 pagi hingga 10 malam.

Dhoni melihat sendiri bahwa masyarakat di Cina memiliki durasi belajar dan bekerja yang lebih panjang dari masyarakat negara lain. Bagi mereka, belajar dan bekerja keras sudah menjadi semacam kebutuhan. Walaupun secara tidak sadar, ini memang warisan budaya mereka.

Di buku Outliers, pada bab 8 diceritakan bagaimana orang Cina bisa menjadi orang-orang yang lebih unggul dari orang-orang bangsa lain. Pada jaman dahulu, masyarakat Cina adalah petani padi yang rajin. Selama musim dingin, ketika petani Eropa berhibernasi, petani Cina menyibukkan diri dengan membuat barang-barang yang bisa dijual di pasar, memperbaiki pematang, membuat tahu, atau berburu ular. Masyarakat Cina jaman dulu bekerja tiga ribu jam pertahun.

Dengan jam kerja sebanyak itu, orang Cina merumuskan sebuah pepatah: di musim dingin, orang malas akan mati kedinginan. Musim dingin di sini, aku mengartikannya secara luas. Bisa jadi, maksudnya musim dingin adalah masa susah.

Dan pepatah yang paling hebat menurutku: tidak ada seorang pun yang bangun sebelum fajar selama 360 hari dalam setahun yang tidak mampu membuat keluarganya kaya raya.

Pepatah ini mengingatkanku pada kewajiban solat Subuh yang setiap hari aku lakukan. Sayangnya, aku lebih sering tidur atau main ponsel selepas solat subuh. Seharusnya aku melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat.

Kembali ke buku Kurma di Ladang Salju, dalam bab berjudul "Jumlah Huruf Han Zi dan Kecerdasan Bangsa China", Dhoni menjelaskan bahwa huruf Han Zi yang digunakan oleh masyarakat Cina ada 6.000 sampai 80.000 karakter. Bayangkan betapa kerasnya usaha masyarakat China untuk bisa terbebas dari buta huruf.

Ada dua hal yang dipelajari Dhoni dari huruf China ini. Pertama, orang China memang sudah terbiasa menyelesaikan pekerjaan yang rumit. Yang kedua, masyarakat China berkesimpulan bahwa dalam hidup kita memang harus bekerja keras. Ya bagaimana tidak, menghafal huruf saja sudah ribuan. Bagaimana mereka merangkai kalimat? Membuat sebuah karangan? Bandingkan saja dengan orang Indonesia yang 'hanya' perlu menghafal 26 huruf untuk bisa dibilang bebas dari buta huruf.

Aku kemudian jadi berpikir. Kata orang, tanah Indonesia itu tanah surga. Tongkat, batu, dan kayu bisa menjadi tanaman. Di dalam tanah, segala macam hasil tambang ada. Di laut, ikan berlimpah ruah. Kail dan jala juga cukup untuk hidup. Karena segala kemudahan itu, orang Indonesia jadi tidak bekerja sekeras orang-orang China.

Dhoni mengatakan bahwa setiap negara memiliki kultur dan mimpinya sendiri. Kita, bangsa Indonesia, harus kembali kepada akar persoalan dan kebutuhan bangsa ini. Aku setuju dengan dia. Menurutku, sudah saatnya kita mengidentifikasi warisan budaya kita sendiri dengan sadar.

Bertahun-tahun lalu Ali Akbar, melalui penelitiannya, merilis 9 ciri negatif manusia Indonesia. Mari kita buka dan baca kembali hasil penelitian beliau. Kita renungkan dengan bijaksana, apakah ciri-ciri negatif itu masih ada di sifat kebanyakan generasi muda Indonesia sekarang?

Untuk bisa menjadi lebih (atau minimal sama) unggul daripada bangsa lain, kita harus keluar dari hambatan akibat warisan budaya yang tidak mendukung perkembangan jaman. Kita memang harus mempertahankan nilai-nilai baik yang diwariskan oleh leluhur kita. Namun kita juga harus merubah hal-hal yang tidak cocok dengan situasi sekarang.

Mampukah kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun