Sejak kemarin, linimasa Facebookku sedang penuh dengan berita tentang hasil Penilaian Siswa Internasional atau OECD Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis tanggal 3 Desember 2019. Indonesia berada di peringkat 75 dari 81 negara di dunia untuk kemampuan membaca, matematika, dan sains.
Secara khusus, 7 dari 10 siswa usia 15 tahun tingkat literasi membacanya masih di bawah kompetensi minimal. Mereka hanya mampu mengidentifikasi informasi rutin dari bacaan pendek serta prosedur sederhana. Informasi ini aku dapatkan dari sebuah infografis yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Yang paling menggelitik, seseorang membagikan berita tentang hasil penilaian siswa internasional ini di group FB relawan literasi dengan keterangan, "meskipun saya tidak melakukan survey, saya yakin dan percaya bahwa relawan literasi terbanyak di dunia ada di Indonesia."
Aku hampir sepakat dengan orang ini. Sejak beberapa tahun lalu sampai sekarang, sepertinya semangat berliterasi kita, orang Indonesia, sedang berkibar-kibar. Taman bacaan berdiri dimana-mana.
Banyak sekali orang dan komunitas yang menggelar lapak buku bacaan untuk dibaca gratis. Perpustakaan desa pun tak ketinggalan bergeliat. Gerakan literasi nasional dan gerakan literasi sekolah bergaung di mana-mana. Gerakan-gerakan ini, banyak menyasar anak-anak usia sekolah.
Agak mencengangkan kalau ternyata hasil dari penilaian tahun 2018, Indonesia mengalami penurunan peringkat dibanding hasil penilaian tahun 2015. Tahun 2015 lalu, Indonesia menduduki peringkat ke 64.
Kata Pak Nadiem, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, laporan PISA ini penting untuk memberi kita perspektif pendidikan Indonesia. Ini harus dijadikan cara pandang baru untuk melihat pendidikan di Indonesia. Beliau mengakui bahwa saat ini kita sedang mengalami krisis literasi. Demikian yang aku kutip dari merdeka.com.
Kembali ke komentar yang menggelitik tentang relawan literasi tadi. Menurutku, pegiat literasi juga harus melihat hasil penilaian ini dan mengevaluasi kegiatan mereka. Sudahkah mereka melakukan kegiatannya dengan tepat sasaran?
Aku tahu, bukan tanggung jawab relawan literasi untuk mengurus kemampuan anak. Orangtua dan gurulah yang paling berperan dalam peningkatan kemampuan anak, seharusnya. Kalau begitu, pertanyaan selanjutnya, lalu apa peran relawan literasi?
Dari sekian banyak perpustakaan dan taman baca yang aku pernah datangi, Rumah Baca Jatibening Bekasi adalah satu dari sedikit rumah baca yang aku lihat fokus dalam penguatan minat baca anak. Ibu Ina, pengelola Rumah Baca Jatibening, serius memantau perkembangan bacaan pengunjungnya.
Setiap pengunjung Rumah Baca Jatibening memiliki lembar anggota yang berupa buku yang berisi daftar buku yang sedang atau sudah selesai mereka baca. Beliau memberikan rekomendasi bacaan pada anak-anak sesuai dengan jenjang kemampuan membaca mereka. Semakin mahir anak-anak itu membaca, mereka akan direkomendasikan buku-buku yang lebih banyak tulisannya, lebih kompleks ceritanya, atau mulai belajar membaca buku-buku nonfiksi yang berisi pengetahuan.
Ketika aku datang ke Rumah Baca Jatibening untuk pertama kalinya, aku melihat Bu Ina menegur seorang anak. Kurang lebih, beliau berkata, "Kamu kan sudah lancar membacanya, jadi sebaiknya kamu membaca buku-buku yang ini. Atau buku ini nih. Isinya cerita tentang pahlawan."
Aku rasa, metode yang digunakan Bu Ina ini bisa memecahkan masalah 'berliterasi' anak-anak. Anak-anak diarahkan untuk memiliki bacaan yang variatif sehingga mereka belajar untuk memahami bacaan yang lebih beragam. Metode ini juga yang diusulkan oleh Ade Kumalasari di artikel yang dirilisnya kemarin.
Aku mengapresiasi taman bacaan atau perpustakaan yang memiliki visi lebih dari sekadar 'bacaan'. Beberapa perpustakaan yang aku lihat, memiliki semacam kelompok usaha. Mereka mengembangkan sesuatu yang bernilai ekonomi dari informasi yang bisa diakses dari perpustakaan. Tentu ini keren sekali. Tapi ya, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan dasar 'membaca' tetap harus mendapat perhatian utama.
Di bawah komentar tentang banyaknya relawan literasi tadi, seseorang mengeluhkan betapa sulitnya menumbuhkan kegemaran membaca. Beliau berkata bahwa ketika membuka lapakan buku, beliau membawa puzzle dan mainan untuk menarik anak-anak berkunjung. Kalau anak-anak sudah bosan, mainan apa lagi yang harus beliau bawa untuk menarik anak-anak?
Entah ya, tapi menurutku, menarik perhatian anak-anak untuk datang ke perpustakaan dengan mainan atau kegiatan lainnya itu tidak seharusnya dilakukan secara terus menerus. Bolehlah kalau dilakukan di awal-awal atau secara berkala sekian minggu atau sekian bulan sekali. Tapi ketika mereka datang, mereka harus diperkenalkan dengan kesenangan dari membaca dan buku-buku.
Ceritakan cerita menarik dari sebuah buku atau buat sebuah kreasi yang ada di buku. Pokoknya, mereka jadi tertarik untuk membuka buku. Setelah mendapat kesenangan dari membaca dan buku, anak-anak seharusnya akan datang kembali ke taman bacaan atau perpustakaan untuk buku. Jadi, sudah tidak perlu lagi penarik berupa mainan. Barulah tugas dari relawan literasi bergerak untuk update bacaan yang ada di perpustakaannya.
Di Rumah Baca Jatibening, Bu Ina juga menyediakan mainan edukatif seperti PAS dan LOGICO. Mainan yang disediakan ini membantu pengunjung melatih konsentrasi, berfikir cepat dan tepat, serta sebagai sarana pengayaan untuk pengunjung anak-anak mencapai kemampuan dasar dan calistung. Anak-anak bisa memainkannya bila mereka sudah selesai membaca sebuah buku.
Kalau anak-anak ditarik terus-menerus dengan sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan buku, sepertinya akan susah untuk mereka mengenal buku. Mereka datang ke perpustakaan atau taman baca untuk 'bermain' bukan untuk membaca.
Di Rumah Baca Jatibening pun, Ibu Ina masih berusaha supaya anak-anak bisa memenuhi keragaman bacaan pengunjung anak-anaknya. Beberapa bulan lalu, beliau membuat sebuah program. Dalam program itu, anak-anak diberi waktu 2 bulan untuk membaca 40 buku yang terdiri dari buku klasik, buku cerita rakyat, dan buku cerita anak sedunia. Hanya 3 anak yang berhasil menyelesaikan program tersebut.
Tentu saja ini bukan tanggung jawab relawan literasi sendiri. Relawan literasi seharusnya hanyalah membantu. Semua pihak, terutama guru dan orangtua, harus saling berkoordinasi supaya bisa anak-anak bisa menyenangi membaca dan kemampuan membaca minimal anak-anak bisa terpenuhi.
Tanpa arahan yang tepat, kemampuan membaca anak-anak akan begitu-begitu saja seberapa pun banyaknya perpustakaan yang ada. Sebanyak apapun relawan literasi yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H