Sebelum berangkat, dia memaparkan kemungkinan kondisi jalanan yang akan dilalui. Seharusnya memang seperti itu. Tapi aku banyak menemui tukang ojek yang tidak hafal jalanan dan mengandalkan peta digital. Padahal kan ya...
Di jalan, ketika aku bertanya tentang aplikasi ojek yang aku gunakan, dia bisa menjelaskan dengan lengkap kelebihan dan kekurangannya. Dia juga bisa bercerita detail tentang dompet digital yang digunakan oleh aplikasi ojek tempatnya bekerja lengkap dengan trik untuk mendapatkan promo.Â
Selain itu, dia juga tahu perbedaan aplikasi yang dia gunakan dan aplikasi sejenisnya. Kebanyakan pengemudi ojek daring yang aku temui, tidak peduli dengan itu semua. Mereka yang mereka mau tahu hanyalah bisa mengantarkan penumpang dan mendapatkan penghasilan dari situ.
Aku curiga, mungkin tukang ojek kemarin adalah mahasiswa atau peneliti yang sedang melakukan riset. Walaupun bisa saja sih, orang itu memang tukang ojek yang menyukai dan menaruh perhatian penuh dengan pekerjaannya. Bila ada kesempatan, aku yakin dia pasti bisa menaiki tangga yang lebih tinggi lagi.
Bila orang-orang 'pintar' mengkhawatirkan tentang pekerjaan low skill, sebaiknya mereka mulai untuk merumuskan suatu aksi yang bisa membuat orang, apapun profesinya, tidak sekadar bekerja.Â
Supaya orang-orang melakukan pekerjaannya dengan mengembangkan imajinasi dan pikirannya. Kata Gladwell, "kerja keras hanyalah vonis mati jika kerja itu tidak memberi makna."
Yang aku percaya lagi, rumusan aksi itu tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata. Penanaman sikap seperti itu harus dimulai dari pendidikan dasar. Harus dimulai dari mengubah stigma bahwa orang yang memiliki uang paling banyaklah yang harus diapresiasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H