"Engkau menjadi manusia yang tidak tahu diri kalau Tuhan berkata, 'kalau engkau takut tak bisa berbuat adil...' lantar engkau bersombong menjawab kepada Tuhan, 'Aku bisa kok berbuat adil', kemudian ambil perempuan jadi istri keduamu. Bahkan engkau nyatakan, 'Aku ingin memberi contoh poligami yang baik' -- seolah Tuhan tidak membekalimu dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan"
Emha Ainun Nadjib dalam 'Istriku Seribu' halaman 90.
Aku terkekeh-kekeh membaca kalimat ini. Beberapa hari yang lalu, saat ramai-ramainya pelantikan anggota DPR periode yang baru, salah seorang anggota DPR mencuri perhatian publik karena membawa serta 3 istrinya dalam pelantikan tersebut.Â
Diberitakan oleh merdeka.com, anggota DPR tersebut 'memublikasikan' kehidupan rumah tangganya dengan 3 istri itu dengan tujuan untuk memberikan contoh bahwasanya poligami bisa juga jadi poligami yang baik.
Buku 'Istriku Seribu' ini pertama kali terbit tahun 2007. Buku yang aku baca adalah cetakan kesekian yang aku beli pada tahun 2015. Dan, sosok orang yang diceritakan oleh Cak Nun (sapaan akrab Emha Ainun Nadjib) di buku ini aku lihat di dunia maya pada tahun 2019. Entah kehidupan orang Indonesia yang memang tidak pernah berubah atau Cak Nun yang memang bisa meramal. Aku juga ingin tahu.
Buku ini dibuka dengan omelan tokoh 'Aku' yang dipersalahkan oleh Yai Sudrun. Tokoh 'Aku' baru saja pu lang dari 3 Negeri Poligami. Oleh-oleh dari kepergiannya itu, dia membawa sebundel berkas tulisan-tulisan tentang poligami ini.
Ada bagian dalam buku ini yang bercerita tentang asal mula hukum poligami diatur. Dahulu, zaman sebelum Nabi Muhammad mengantarkan ajaran Allah, laki-laki memperlakukan perempuan seperti barang. Asal dia kaya, dia bisa mengawini ratusan perempuan. Dalam keadaan tersebut, Allah melakukan revolusi: dari fakta ratusan istri diradikalkan menjadi paling banyak 4 istri dengan peringatan jangan mengeksploitasi mereka.
Nah, di 1 negara yang dikunjungi oleh tokoh 'Aku', kajian tentang poligami disetop sampai di sini dan dilegitimasi bahwa syariat Islam memperkenankan hal itu. Seolah tidak ada dimensi lain yang perlu dipertimbangkan. Jadinya stagnan dalam justifikasi bahwa Islam memperbolehkan lelaki kawin 4.
Sounds familiar?
Buku ini juga membahas tentang konsep suami-istri yang lebih luas daripada buku nikah atau kamar tidur. Misalnya konsep Tuhan sebagai suami yang telah memberikan segalanya untuk hidup manusia sebagai 'istri-istri' di dunia. Sehingga seharusnya 'para istri' ini sadar diri, apa yang harus mereka lakukan untu berbakti.
Konsep lainnya adalah umat manusia sebagai suami yang akan diminta pertanggung jawaban di yaumul akhir perihal kondisi 'istri-istrinya' di dunia. Siapa saja istri-istri itu? Mereka adalah hewan, tumbuhan, hutan, dunia dan seisinya.
Ya... ya... buku ini memang filosofis banget. Aku harus berulangkali membacanya supaya mengerti apa yang sebenarnya hendak Cak Nun sampaikan. Tapi ya ibarat makanan, makanan yang enak dan bergizi jelas bukan tinggal seduh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H