Di Twitter, aku menemukan sesuatu yang menarik dari akun @strategi_bisnis. Seorang sarjana memilih pekerjaan menjadi tukang parkir. Sarjana itu menjadi tukang parkir karena penghasilannya yang tinggi dengan jam kerja fleksibel. Dua jam kerja dia bisa mendapat dua ratus ribu rupiah di hari biasa dan empat ratus ribu rupiah di akhir pekan. Akun tersebut kemudian menjelaskan tentang pentingnya memilih pekerjaan yang bisa menghasilkan income perhour yang tinggi.
Akun tersebut tidak menyarankan orang untuk menjadi tukang parkir walaupun tidak juga melarang. Yang jelas, akun @strategi_bisnis menyarankan tukang parkir tersebut untuk membuka sebuah usaha dengan penghasilan yang didapat. Toh memang dia jadi tukang parkir waktunya fleksibel, kan? Jadi dia jelas punya waktu untuk diluangkan.
Saran ini, mungkin berlaku juga untuk para driver ojek online. Aku rasa yang paling perlu pemerintah lakukan adalah memberikan wawasan tentang keuangan pada mereka. Mereka diberitahu tentang pengelolaan keuangan, tentang investasi, dan tentang pinjaman online.Â
Diver ojek daring ini mungkin saat ini banyak yang kondisi keuangannya bagus dan tidak bisa disebut miskin. Namun untuk mencegah hal-hal buruk yang digambarkan di paragraf awal, tidak ada salahnya kan menyisihkan anggaran untuk edukasi mereka?Â
Investasi tidak melulu tentang bisnis dan properti. Investasi bisa juga berupa ketrampilan. Uang yang mereka dapatkan dimanfaatkan untuk mendaftar kursus sehingga bila ada sesuatu yang buruk terjadi dengan perusahaan ojek daring tersebut, mereka bisa bertahan dengan kemampuan mereka. Atau siapa tahu mereka menemukan hal yang lebih ingin dilakukan? Jadi, mereka tidak terjebak untuk menjadi tukang ojek selamanya, kan?
Betul, tidak ada yang salah dengan menjadi tukang ojek. Tapi bukankah hidup harus berkembang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H