Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Problematika Perempuan Masa Kini, Mau Ngantor atau di Rumah

30 Juli 2019   14:38 Diperbarui: 30 Juli 2019   14:53 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pxhere.com

"Lihat sekarang? Rumah tangga macam apa yang mau dibangun dengan kondisi yang seperti itu?" pungkas tanteku.

Beberapa hari yang lalu, aku datang ke rumah tanteku demi menghindar dari pengajian ibu-ibu yang diselenggarakan setiap hari Jumat di masjid sebelah rumah. Bukannya apa yah tapi aku perlu kegiatan yang lain juga selain rutinitas pengajian setiap minggu. Habis yang dibahas pun itu-itu lagi.

Saat itu, Tante menceritakan tentang saudaraku yang berpisah tempat tinggal dengan suaminya. Suaminya tinggal di Kalimantan sedangkan saudaraku tinggal di Jawa beserta anaknya. 

Pangkal masalahnya adalah karena orangtua saudaraku tidak rela anaknya yang sudah disekolahkan tinggi hingga menjadi dokter mengikuti suaminya dan menjadi 'penjaga rumah' di sana. Akhirnya, saudaraku disuruh ibunya untuk ikut tes CPNS, keterima, dan ditempatkan di Jawa. Dia akhirnya menjalani long distance merriage dengan suaminya sambil menunggu waktu untuk bisa dipindah tugaskan di Kalimantan.

"Kayak gitu kalau orangtua merasa berhak ikut campur urusan rumah tangga. Ini yang merusak rumah tangga muda macam kalian," kata Tante. "Makanya mama sama bapakmu aku tahan-tahan buat enggak masuk ke urusan kamu."

"Sebenarnya, emang kenapa sih kalau orang yang udah sekolah tinggi itu di rumah?" tanyaku. "I mean, what is wrong with it sampe-sampe keluarga ini harus berpisah?"

"Gak tau," jawab Tante. "Kamu tanya sana sama tantemu yang itu. Aku juga sarjana, dan kerjaanku di rumah ngurusin tiga bocah kecil yang waktu tidurpun enggak pernah bisa diem and I'm fine with it."

Problematika perempuan itu banyak yah? Orang yang pingin sekolah dan pingin bekerja diberi 'ceramah' tentang betapa terhormatnya perempuan yang di rumah. Orang yang pingin mendedikasikan hidupnya untuk keluarga malah disuruh kerja dan berpisah dengan keluarganya dengan alasan eman-eman sekolahnya.

Sebenarnya, hidup tidak serumit itu. Yang membuat rumit adalah orang-orang di sekitar perempuan ini. Seperti kata tanteku, kalau seorang sudah berumah tangga, sebaiknya dia menentukan langkah hidupnya dengan suaminya. Orang lain, termasuk orang tuanya, sebaiknya tidak ikut campur lagi apalagi sampai mengungkit biaya sekolahnya. Perempuan ini bukan lagi hidup seorang diri. Ada orang lain di 'rumah'nya yang harus didengarkan pertimbangannya.

Jika perempuan ini mau bekerja, ya yang harus diajak berdiskusi adalah suaminya. Apakah harus menjalani long distance merriage atau bisa tinggal bersama? Kalau perempuannya bekerja di luar, bagaimana dengan pekerjaan rumah? Mau dibagi dua atau dilimpahkan ke pramuwisma? Kalau sudah punya anak, anak akan diasuh oleh baby sitter atau bisa diusahakan kerja shift-shiftan?

Karenanya, perempuan dan laki-laki yang mau menikah dituntut kedewasaan dan kebijaksanaannya. Mereka harus menyamakan persepsi, visi, dan misinya. Jangan sampai juga wanita sudah bekerja di luar tapi masih dimbruki pekerjaan rumah. Perempuan juga jangan karena merasa sudah bekerja dan mendapatkan uang sendiri lalu tidak mau tahu urusan rumahnya.

Seorang suami, menurutku, harus bisa melindungi istrinya dari hal-hal semacam ini. Bagaimana dia meyakinkan mertuanya bahwa istrinya ikut dengan dia adalah keputusan terbaik?

Aku ingat ketika ada saudara yang membujuk bapakku untuk menyuruhku bekerja kembali di Rumah Sakit. Namun bapakku menjawab, "sekarang kan dia sudah punya suami. Itu sudah jadi urusan dia sama suaminya. Nggak usah ikut-ikut. Yang penting jangan sampe dia mati kelaperan aja."

Ketika ditanya apakah bapak nggak sayang sudah menyekolahkan aku setinggi itu tapi cuma berakhir di rumah, "dia disekolahkan kan supaya dapet ilmu. Nggak masalah mau kerja kayak apa juga. Tapi kalau dia masih goblok baru masalah."

Namun tidak semua perempuan seberuntung diriku. Dan tidak semua orang sebijaksana ayahku. Ada orangtua yang menganggap dana pendidikan anak itu adalah investasi. Orangtua menyekolahkan anaknya dengan ekspektasi anaknya akan bekerja dan mendapatkan uang. Semakin banyak dana yang dikeluarkan, semakin tinggi ekspektasi uang yang didapat anaknya.

Padahal menurut bapakku, enggak gitu. Betul, pendidikan adalah jual beli. Bapak mengeluarkan biaya pendidikanku untuk ilmu dan pengalaman yang aku dapat saat menempuh pendidikan. Nah di situlah letak jual belinya: uang dengan ilmu yang didapat. Urusan gaji yang didapat saat bekerja, itu lain lagi.

Dalam ulasan buku Astrofisika Untuk Orang Sibuk, aku sempat memaparkan bahwa kita bisa belajar bijaksana dengan mempelajari astrofisika. Kita bisa bersikap rendah hati dan toleransi dengan mengetahui bahwa kita mungkin hanya butiran debu di jagad raya ini.

Seorang ibu yang berilmu, seharusnya mampu menjelaskan dunia yang lebih luas daripada perkara uang pada anaknya. Ibu yang berpendidikan tinggi aku yakin tidak akan membiarkan anaknya menepuk dada dan berkata, "harga gue lebih dari 8 juta sebulan karena gue lulusan UI." Orang yang mendalami ilmu pengetahuan, akan sadar bahwa UI bukan satu-satunya Universitas di Indonesia.

So, menurutku yah, selama seorang perempuan sudah bersepakat dengan suaminya mau bagaimana mereka menjalani kehidupan rumah tangganya, orang yang di luar rumah sebaiknya tidak perlu ikut campur. Biarkan perempuan menjalani perannya dengan kesadaran penuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun