Pagi ini, aku agak terenyuh membaca berita yang menyatakan bahwa PT. Pos Indonesia menunda pembayaran gaji karyawannya. Agak mengagetkan karena bagaimanapun PT. Pos Indonesia adalah perusahaan milik negara.
Dalam berita tersebut dikatakan bahwa PT. Pos sedang dalam upaya mengatur aliran dananya. Dan bagian yang tidak terhindarkan dari pengaturan itu adalah tertundanya gaji karyawan.
Sorenya, aku membaca sebuah status yang diunggah oleh Nirwan Arsuka, presiden Pustaka Bergerak Indonesia.
Berdasarkan naskah perjanjian kerja sama (PKS) antara Kemedikbud dan PT Pos Indonesia, maka ada sejumlah perubahan pengiriman buku yang akan diputuskan. Sebelum keputusan yang mengikat itu diresmikan, alangkah baik jika kita menjajaki pendapat para dermawan dan relawan pustaka yang selama ini aktif mengirim dan mengumpulkan buku.Â
Opsi yang ditawarkan dalam jajak pendapat tersebut secara garis besar adalah apakah donatur bersedia menyeleksi sendiri buku-buku yang akan dikirimkan ke TBM agar tepat sasaran atau membiarkan Kemendikbud menjadi perantara untuk menyeleksi dan mengirimkannya ke TBM tujuan.
Di komentar status tersebut, banyak yang tidak setuju dengan ide membiarkan Kemendikbud menjadi perantara. Mereka meminta Free Cargo Literacy (FCL/literasi bebas bea, atau penggratisan biaya kirim paket buku) tetap berlangsung seperti yang sudah-sudah. Tanpa ada perantara, tanpa ada syarat lainnya.Â
Pertama, mereka tidak setuju karena alasan ribet. Yang lainnya, merasa kurang percaya pada petugas Kemendikbud untuk membungkus kembali buku-buku dan menyalurkan pada TBM yang akan dituju. Melibatkan pihak ketiga memang tidak pernah nyaman, ya?
Sebenarnya, aku kurang lebih paham mengapa Kemendikbud ingin menjadi perantara bila mereka harus membiayai pengiriman gratis ini. Aku mencoba mencari di Google apakah ada yang sudah mengevaluasi pelaksanaan program FCL yang selama ini berlangsung. Namun aku tidak mendapatkannya. Namun aku sering membaca di media sosial.Â
Banyak donor yang dikirimkan tidak tepat sasaran. Ada yang mengirimkan buku-buku bekas yang tidak layak baca, buku aktivitas yang sudah terisi dan robek, peralatan tulis yang tidak bisa digunakan, dan yang lainnya.Â
Belum lagi, distribusi donor yang tidak terdistribusi secara merata. Ada TBM yang mendapatkan buku sampai bertumpuk-tumpuk banyak sekali. Ada juga TBM yang selama program berjalan tidak mendapatkan satu buah buku pun.
Kalau Kemendikbud harus menanggung biaya pengiriman buku ini, Kemendikbud ingin dana yang dikucurkannya keluar secara efisien. Tidak ada uang yang terbuang untuk mengirimkan 'sampah' atau menumpuk barang di satu tempat. Hal seperti ini, yang nampaknya tidak dibayangkan oleh orang-orang yang berteriak 'ribet' di status milik Nirwan Arsuka.Â