Aku memarkir mobilku di depan sebuah rumah mungil yang dari depan tertutup oleh banyak tanaman di daerah Jakarta Timur. Saat turun dari mobil, aku melihat Simbah Kakung sedang menyirami pohon-pohonnya. Ketika melihatku, Simbah Kakung mengajakku untuk masuk ke rumah. Aku segera menyapa Simbah Putri yang sedang asyik memasak di dapur, mengambil segelas air putih, dan duduk di samping Simbah Kakung di sofa depan TV.
"Wisnu, kamu ke Monas tanggal 2 bulan lalu?" tanya Simbah Kakung.
Aku menoleh ke arahnya. Raut mukanya tidak berubah dan tatapan mata Simbah Kakung masih tertuju pada televisi.
"Enggak, Mbah," jawabku. "Saya masuk kerja menggantikan teman saya yang cuti."
"Om Haryo datang ke Monas. Dia mengirimi foto pada simbah," kata Simbah. "Dia main ke tempat simbah saja belum tentu setahun sekali. Dan sekarang, dia datang ke Monas tanpa mampir ke sini."
Aku menundukkan kepala. Om Haryo adalah saudara bungsu bapak. Beliau tinggal di Balikpapan, sebuah kota yang terletak di seberang lautan sana, bersama orangtua istrinya.
"Mungkin, Om Haryo kemarin sedang terburu-buru sehingga tidak sempat mampir," jawabku berusaha membangkitkan pikiran positif dari Simbah Kakung dan Simbah Putri. "Siapa tahu, bulan Januari ini Om Haryo bakal ke sini dan menginap lama."
"Simbah enggak berharap," sahut Simbah Kakung. "Simbah dengar, saat ibu mertuanya sedang sakit, Om Haryo dan istrinya tidak menungguinya. Mereka malah menginap di masjid selama beberapa hari."
"Mungkin, Om Haryo dan istrinya sedang berdoa untuk kesembuhan ibu mertua Om Haryo," kataku setelah berdiam beberapa lama mencari kata-kata yang pas.
"Memangnya kalau didoakan saja orang bisa sembuh?" teriak Simbah Putri yang kini sudah duduk di sebelah Simbah Kakung.
Air mata Simbah Putri berlinang. Matanya merah. Tangan kanannya memegang dadanya yang naik turun seolah ada sesuatu yang akan keluar dari sana. Sedangkan tangan kirinya memegang erat tangan Simbah Kakung.