"Orang sakit butuh diladeni, Wisnu. Orang sakit butuh ditemani. Dia butuh dirawat, " kata Simbah Putri. "Sakit hati Simbah mendengar kelakuan Om kamu yang seperti itu. Dipikir orang nanti simbah nggak pernah ngajarin."
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Biarkan saja kalau dia sudah tidak butuh sama orang," kata Simbah Kakung. "Biar nanti kalau mati dia kubur dirinya sendiri."
Aku mengernyitkan dahiku. Kata-kata simbah mulai tidak nyaman untuk didengarkan. Aku tidak menjawab lagi. Mataku tertuju pada TV yang menayangkan tentang pesta kembang api yang diselenggarakan di beberapa negara di dunia semalam.
Nada dering ponselku memecah keheningan di antara kami. Aku melirik Simbah Kakung dan Simbah Putri sebelum mengangkat telepon.
"Halo..." sapaku.
....
"Oh, iya, Pak. Saya pulang sekarang," kataku mengakhiri sambungan telepon.
"Mbah," panggilku pada Mbah Putri dan Mbah Kakung . "Bapak telpon. Om Haryo meninggal. Terkena serangan jantung beberapa jam yang lalu."
Mata simbah kakung mendelik seakan mau keluar dari rongga matanya. Mbah putri tertunduk. Bahunya terlihat naik dan turun dengan cepat. Selama beberapa menit kami terdiam.
"Saya mau pulang dan siap-siap berangkat ke Balikpapan, sekarang," kataku mengakhiri kesunyian kami. "Bagaimanapun, Om Haryo masih Om saya."