Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Januari 2019

7 Januari 2019   16:48 Diperbarui: 7 Januari 2019   17:01 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memarkir mobilku di depan sebuah rumah mungil yang dari depan tertutup oleh banyak tanaman di daerah Jakarta Timur. Saat turun dari mobil, aku melihat Simbah Kakung sedang menyirami pohon-pohonnya. Ketika melihatku, Simbah Kakung mengajakku untuk masuk ke rumah. Aku segera menyapa Simbah Putri yang sedang asyik memasak di dapur, mengambil segelas air putih, dan duduk di samping Simbah Kakung di sofa depan TV.

"Wisnu, kamu ke Monas tanggal 2 bulan lalu?" tanya Simbah Kakung.

Aku menoleh ke arahnya. Raut mukanya tidak berubah dan tatapan mata Simbah Kakung masih tertuju pada televisi.

"Enggak, Mbah," jawabku. "Saya masuk kerja menggantikan teman saya yang cuti."

"Om Haryo datang ke Monas. Dia mengirimi foto pada simbah," kata Simbah. "Dia main ke tempat simbah saja belum tentu setahun sekali. Dan sekarang, dia datang ke Monas tanpa mampir ke sini."

Aku menundukkan kepala. Om Haryo adalah saudara bungsu bapak. Beliau tinggal di Balikpapan, sebuah kota yang terletak di seberang lautan sana, bersama orangtua istrinya.

"Mungkin, Om Haryo kemarin sedang terburu-buru sehingga tidak sempat mampir," jawabku berusaha membangkitkan pikiran positif dari Simbah Kakung dan Simbah Putri. "Siapa tahu, bulan Januari ini Om Haryo bakal ke sini dan menginap lama."

"Simbah enggak berharap," sahut Simbah Kakung. "Simbah dengar, saat ibu mertuanya sedang sakit, Om Haryo dan istrinya tidak menungguinya. Mereka malah menginap di masjid selama beberapa hari."

"Mungkin, Om Haryo dan istrinya sedang berdoa untuk kesembuhan ibu mertua Om Haryo," kataku setelah berdiam beberapa lama mencari kata-kata yang pas.

"Memangnya kalau didoakan saja orang bisa sembuh?" teriak Simbah Putri yang kini sudah duduk di sebelah Simbah Kakung.

Air mata Simbah Putri berlinang. Matanya merah. Tangan kanannya memegang dadanya yang naik turun seolah ada sesuatu yang akan keluar dari sana. Sedangkan tangan kirinya memegang erat tangan Simbah Kakung.

"Orang sakit butuh diladeni, Wisnu. Orang sakit butuh ditemani. Dia butuh dirawat, " kata Simbah Putri. "Sakit hati Simbah mendengar kelakuan Om kamu yang seperti itu. Dipikir orang nanti simbah nggak pernah ngajarin."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Biarkan saja kalau dia sudah tidak butuh sama orang," kata Simbah Kakung. "Biar nanti kalau mati dia kubur dirinya sendiri."

Aku mengernyitkan dahiku. Kata-kata simbah mulai tidak nyaman untuk didengarkan. Aku tidak menjawab lagi. Mataku tertuju pada TV yang menayangkan tentang pesta kembang api yang diselenggarakan di beberapa negara di dunia semalam.

Nada dering ponselku memecah keheningan di antara kami. Aku melirik Simbah Kakung dan Simbah Putri sebelum mengangkat telepon.

"Halo..." sapaku.

....

"Oh, iya, Pak. Saya pulang sekarang," kataku mengakhiri sambungan telepon.

"Mbah," panggilku pada Mbah Putri dan Mbah Kakung . "Bapak telpon. Om Haryo meninggal. Terkena serangan jantung beberapa jam yang lalu."

Mata simbah kakung mendelik seakan mau keluar dari rongga matanya. Mbah putri tertunduk. Bahunya terlihat naik dan turun dengan cepat. Selama beberapa menit kami terdiam.

"Saya mau pulang dan siap-siap berangkat ke Balikpapan, sekarang," kataku mengakhiri kesunyian kami. "Bagaimanapun, Om Haryo masih Om saya."

Aku beranjak dan melangkahkan kaki ke toilet sebelum bergegas mengambil kunci mobil yang aku letakkan di meja makan. Saat aku mencari simbah untuk berpamitan, mereka sudah ada di teras depan.

"Aku ikut," kata simbah kakung. "Kalau Om Haryo nggak mau datang ke sini, biar Simbah saja yang ke sana."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun