"Bang, sekarang pakenya ketupat?" tanyaku.
Sabtu pagi kemarin, aku, yang sedang malas memasak, membeli lontong sayur dari tukang lontong sayur yang sehari-harinya keliling komplek. Biasanya, Abang Lontong Sayur itu menggunakan lontong yang dibungkus daun pisang lalu dibungkus lagi dengan plastik. Pagi itu, dia menggunakan ketupat yang dibungkus dengan daun kelapa muda.
"Iya nih, Neng," jawabnya. "Habis diprotesin mulu ma ibu-ibu kalo pake plastik. Dibilang beracun. Jadi saya ganti pake ketupat."
Abang Lontong Sayur menyerahkan mangkok yang berisi sayur labu berkuah merah yang dilengkapi dengan ketupat, tahu goreng, dan telor rebus. Aku menyerahkan uang 10 ribu dan mengucapkan terima kasih.
Aku tersenyum memandang Abang Lontong Sayur yang berjalan menjauh. Aku teringat artikel yang ditulis oleh Okky Madasari di thejakartapost.com. Beliau bilang, ibu-ibu zaman sekarang bukan lagi hanya mengurusi masalah rumah tangga.
Dengan adanya media sosial, tidak sedikit ibu-ibu yang bergerak dalam bidang politik, sosial, dan sebagainya. Beberapa dari mereka bahkan menjadi inisiator dalam sebuah gerakan masif. Misalnya, kasus iklan Blackpink yang pasti masih segar diingatan kita.
Ibu-ibu bisa memaksa KPI untuk melarang stasiun TV menayangkan iklan Shopee yang dibintangi oleh Blackpink karena dianggap contoh buruk untuk anak-anak. Apalagi hanya memaksa seorang pedagang mengganti bungkus lontongnya dari bungkus plastik. Dari situ kita bisa melihat dengan jelas betapa baiknya kemampuan ibu-ibu dalam mengordinir massa sehingga tujuan mereka bisa terpenuhi.
Kadang, gerakan yang dilakukan oleh ibu-ibu terdengar konyol di telinga orang-orang moderat. Misalnya, gerakan ibu-ibu yang meminta film Naura dan Genk Juara diboikot karena menampilkan penjahat yang brewokan dan mengucap istigfar. Menurut mereka, film ini melecehkan agama Islam. Padahal, memangnya kenapa kalau penjahatnya brewokan? Memang yang bisa bilang istigfar orang Islam saja?
Aku kemudian teringat dengan sekolah ibu yang akan diselenggarakan oleh pemerintah sebuah daerah di Jawa Barat. Akan menarik, kalau sekolah ibu ini bukan untuk mengajari mereka perkara domestik, yang sebenarnya sudah mereka tahu, tetapi untuk memfasilitasi mereka mengembangkan dan memperdalam informasi yang ibu-ibu punya.
Misalnya, pemerintah memfasilitasi ibu-ibu ini belajar tentang lingkungan. Dari hal yang paling sederhana saja, mengapa kita perlu memilah sampah basah dan sampah kering? Mengapa kita perlu mengurangi penggunaan plastik?
Seiring dengan mendalam dan luasnya pengetahuan ibu-ibu, mereka bisa mengoordinir massa untuk melakukan hal-hal yang nyata dan praktis. Mendesak lebih banyak pedagang untuk tidak menggunakan plastik, mengkampanyekan penggunaan tas yang bukan sekali pakai, mengkoordinir warga untuk memilah sampah, dan lain sebagainya.