Beberapa hari ini, banyak ribut-ribut di berbagai media tentang postingan Pak Wakil Bupati Kabupaten Bandung Barat, Pak Hengky Kurniawan, tentang didirikannya Sekolah Ibu. Mungkin beliau gerah juga dengan banyaknya komentar yang mempertanyakan postingan tersebut, Pak Hengky menambahkan sebuah catatan dalam postingannya (sembari menutup kolom komentarnya).
"Tidak ada yang menyalahkan ibu dalam kasus perceraian. Program sekolah ibu berhasil menekan angka perceraian di kota Bogor. Seperti yang Kang Bima sampaikan ke saya waktu study banding. Ibu-ibu yg tadinya menuntut cerai suaminya akhirnya menarik gugatan cerainya setelah mengikuti sekolah ibu. Tentu ini program baik yang bisa kita contoh. Pematerinya dari kalangan profesional, psikolog, dosen, profesor, polwan, wanita karier yg sukses. Dan program ini mendapatkan apresiasi dari Bapak Gubernur. Bila ada yg salah dalam pemahaman atau kurang berkenan, mohon dimaafkan," begitu katanya.
Aku rasa, Pak Hengky merasa ada yang salah dengan kalimatnya tapi beliau tidak tahu apa yang salah.
Begini ya, Pak Hengky, kalau mau klarifikasi tentang program kerja Bapak, coba tolong beritahu kami, apa yang melatar belakangi banyaknya warga Bapak yang bercerai.Â
Untuk meluncurkan sebuah program, Bapak nggak cukup dengan latar belakang bahwa dari tanggal 5-30 November 2018 ada 244 kasus perceraian. Bulan sebelumnya seberapa banyak? Selama setahun bagaimana? Tahun sebelumnya apakah angka perceraian setinggi itu juga?
Bapak dan tim harus mengkaji, dan ini yang penting untuk disertakan dalam latar belakang mengapa program ini harus diluncurkan, apa yang menyebabkan perceraian? Apakah karena memang perempuan yang menikah ini masih manja? Tidak paham artinya berumah tangga dan masih merengek-rengek pada orangtuanya ketika punya masalah dengan suaminya? Apakah perempuan-perempuan yang menikah ini belum tahu cara merawat anak? Tidak bisa menyajikan gizi seimbang pada anak?
Yakin yang darurat untuk didirikan adalah sekolah ibu? Bukan sekolah bapak untuk pemuda-pemuda, yang mengajak anak gadis orang untuk menikah, supaya mereka bisa memimpin keluarga dengan baik?
Bapak bilang di Bogor, ibu-ibu yang tadinya menuntut cerai suaminya akhirnya menarik gugatan cerainya setelah mengikuti sekolah ibu. Apakah menurut Bapak, perceraian yang di Bogor itu sama kasusnya dengan perceraian yang terjadi di Bandung Barat, wilayah kekuasaan Pak Hengky? Dan Bapak tahu nggak, kenapa ibu-ibu di Bogor menuntut cerai suaminya?
Jangan-jangan mereka menuntut cerai karena sudah capek diperlakukan secara keras oleh suaminya, Pak. Atau mereka masih merasa hidup kekurangan tapi suaminya malah mau cari perempuan untuk dipoligami? Makanya ibu-ibu menuntut cerai suaminya. Wah, kalau sudah seperti itu, yang harus diberi pemahaman tentang berumah tangga kan para suami ini, Pak. Bukan ibu-ibu yang sudah mencapai batas kesabaran mereka.
Saya punya sedikit cerita untuk Bapak. Ini kejadian sekitar setahun yang lalu, saat saya mau pindah dari Bandung Barat (betul, Pak. Dulu saya sempat bermukim di wilayah Bapak). Cerita ini tentang Mira (Bapak jangan repot mencari siapa dia, karena ini nama samaran). Dia lima tahun lebih muda dari saya (Waktu itu usia saya 27 tahun dan Mira masih 22 tahun). Namun saat itu, dia sudah memiliki anak berusia 6 bulan.
Ketika saya pamitan mau pulang ke Jogja, Mira memeluk saya erat sekali. Itu adalah saat terakhir dia curhat dengan saya tentang kondiri rumah tangganya. Saya mendengar suara sesenggukan dari perempuan yang mendekap saya itu.
"Aku sebenarnya sudah nggak tahan, Teh," kata Mira di antara sesenggukannya. "Tapi aku nggak mungkin pisah dengan A Gun (nama ini juga disamarkan, ya, Pak). Aku sudah punya anak."
Mira, adalah satu dari sekian banyak gadis di daerah Bandung Barat yang menikah di usia yang masih sangat muda. Ya, usia dia memang sudah diperbolehkan menikah oleh negara. Tapi saya, masih harus diteriaki oleh ayah saya untuk mengenakan jaket saat bepergian saat masih seumur Mira. Ya ampun, menjaga kesehatan diri saja sulit. Apalagi harus memikirkan menu makan sehat untuk suami dan anak.
Tapi Mira bisa, Pak. Dia pandai membagi waktunya antara menulis skripsi, bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah SMP di dekat rumahnya, dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Dia benar-benar terlihat lebih dewasa dan lebih lelah dibanding saya dengan beban pekerjaan dia yang seperti itu.
Sayangnya, suami Mira ini adalah laki-laki manja yang tidak tahu diri. Ya, dia masih kuliah. Namun dia tidak malu dengan istrinya yang kuliah sambil bekerja. Yang ada, dia hobi nongkrong di kedai bersama dengan teman-temannya. Menurut Mira, jarang sekali suaminya membantu pekerjaan rumah tangganya. Kalaupun sampai suaminya membantu pekerjaan rumah tangga, ibu mertuanya akan menyindir Mira habis-habisan.Â
Dan kalau mertuanya sedang sensi dengan Mira, suaminya tidak ada upaya untuk membela Mira. Ya, Mira dan suaminya masih tinggal dengan orangtua suami Mira. Mereka masih kuliah, remember, dan suami Mira belum punya pekerjaan.
Sering, suami Mira meminta uang pada Mira untuk bensin dan jajan. Tapi giliran Mira mengeluh sedang tidak punya uang, suami Mira akan mengatainya sebagai perempuan yang boros. Di mana logikanya, kan?
Hal ini yang membuat Mira menderita tekanan batin sehingga ketika terakhir kami bertemu, berat badan dia hanya 38 kg (tingginya 145 m, fyi)dan mukanya pucat dengan hiasan kantong mata. Informasi penting, sebelum menikah, berat badan Mira 48 kg dan pipinya selalu bersemu merah.
Dan kasus seperti Mira ini tidak hanya satu, Pak, sepanjang 2 tahun saya tinggal di Bandung Barat. Ada banyak pemuda-pemuda yang mengeluarkan segala rayuan untuk mengajak anak gadis orang menikah. Namun setelah menikah, bahkan memberi nafkah saja tidak mampu.
Saya pernah membaca berita sih, tentang Sekolah Ibu yang diadakan di Bogor itu. Salah satu materinya adalah pemberdayaan ekonomi pada ibu-ibu. Mungkin nih, ibu-ibu di Bogor ingin bercerai dengan suaminya karena mereka merasa nafkah yang diberikan oleh suaminya tidak cukup. Kemudian di Sekolah Ibu, ibu-ibu diajari cara untuk mendapatkan penghasilan sendiri sehingga mampu mencukup kebutuhan rumahnya dan merasa tidak perlu lagi bercerai.
Tapi bagaimana dengan Bandung Barat?
Menurut saya nih, Pak. Sebaiknya, Bapak pikirkan kembali untuk membuat program Sekolah Ibu itu. Bapak kuatkan lagi kajian penyebab perceraian yang tinggi di wilayah Bapak. Sambil itu, Bapak bisa meminta KUA untuk memberi bimbingan pranikah pada pasangan-pasangan yang ingin menikah.Â
Sehingga pemahaman tentang rumah tangga sudah mereka dapatkan sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Bimbingan ini sasarannya untuk pasangan, ya. Bukan cuma untuk perempuan.
Sebelum saya menikah, saya dan calon suami saya (waktu itu) mendapat konseling pranikah. Kami berdua diberi pemahaman bagaimana mengarungi bahtera rumah tangga, kami diajak untuk mengenal lebih dalam pasangan kami masing-masing, dan dalam konseling itu kami juga diajak untuk membuat master plan rumah tangga kami. Sehingga sekarang, ketika kami punya masalah, kami akan mengingat kembali master plan yang kami buat.
Bukan kah pencegahan di awal selalu lebih baik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H