Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjalanan Kucing yang Tinggal di Bawah Pohon Kemenyan

11 Desember 2018   17:15 Diperbarui: 11 Desember 2018   17:19 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang selalu menyingkir ketika dia datang. Bahkan sebelum dia datang, dari jauh orang akan menyadari keberadaannya dan bersiap untuk pergi. Tidak, dia tidak buruk rupa. Malah, dia cantik dengan kulit kuning bermotif totol-totol cokelat dan matanya yang kebiruan. Dia juga tidak berpenyakit. Dia malah sangat sehat dan lincah. Sayangnya, dia berbau. Dia tidak berbau busuk layaknya sampah atau bangkai. Dia berbau wangi. Seperti dupa yang dibakar atau bau ruangan dukun-dukun di Jawa. Dia berbau kemenyan.

Ini perjalanan pertamanya keluar dari tempat tinggalnya. Sebelumnya, dia tingga di bawah pohon kemenyan di samping pura. Di sana, orang-orang datang memberinya makan. Anak-anak kadang mengelus dan menyayanginya. Induknya sudah lama mati. Dia tinggal sendirian. Tidak, dia tinggal bersama warga desa di sekitar pura. Semua terlihat baik-baik saja sampai air bah datang.

Di suatu malam yang dingin dan sunyi, dia mendengar suara gemuruh. Dia menajamkan telinganya dan membuka matanya lebar-lebar. Dia memanjat ke dahan terendah pohon kemenyan tempat dia bernaung. Tak berapa lama, air datang bersama barang-barang milik warga. Kursi, meja, penggorengan, piring plastik, dan apa saja. Dia melihat seorang anak perempuan yang sering mengelus punggungnya hanyut terbawa air. Dia berusaha menggapai anak itu namun tidak bisa. Tangannya yang mungil tidak mampu meraihnya. Angin berhembus dengan kuat. Dia mencengkram dahan pohon kemenyan dengan kuku-kukunya yang tajam.

Selama 3 hari, hingga air bah surut, dia masih berada di dahan pohon kemenyan. Perutnya mulai kerucukan. Nampaknya, sudah waktunya dia mencari makan. Masalahnya, dia mau mencari makan kemana? Selama ini, makanannya selalu tersedia di bawah pohon kemenyan. Dia kemudian berjalan kemanapun kakinya melangkah. Menembus kebun, melewati sawah, dan sampai di sebuah pasar.

Sayangnya, kerumunan orang tidak menyukai bau kemenyan yang melekat padanya. Orang-orang tidak mengusirnya. Mereka menjauhinya. Tidak ada yang memberinya makan sambil mengelus punggung atau kepalanya. Karena mereka mendekatinya pun tidak. Dia berusaha untuk tetap bertahan dengan mengais makanannya di timbunan sampah. Dia memakan sisa daging, ikan, dan sampah-sampah yang bisa dia makan sampai dia merasa kenyang.

Dia kembali melanjutkan perjalanannya hingga sampailah dia di pohon yang mengeluarkan bau kemenyan. Seperti pohon tempatnya hidup selama ini. Dia mencakar batang pohon itu sebanyak 3 kali dan tertidur di bawah pohon. Dia terlelap karena kekenyangan dan kelelahan. Entah berapa lama dia memejamkan mata hingga akhirnya dia terbangun oleh belaian lembut di kepalanya. Dia melihat seorang gadis putih dengan rambut panjang terkepang yang menyelus kepalanya dan menyodorkannya ikan pindang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun