Hampir seminggu yang lalu, aku iseng membaca linimasa Twitter. Mataku kemudian terpaku pada kicauan Ernest Prakarsa. Ernest membagikan kicauan seseorang tentang selebgram yang mempromosikan obat pembesar payudara.Â
Kicauan tersebut melampirkan gambar obat itu lengkap dengan jarum suntiknya. Akupun mencoba menuju akun instagram seleb tersebut. Namun karena banyaknya postingan yang diunggah oleh seleb tersebut. Aku menyerah untuk mencari promosi obat tersebut sebelum memulai.
Dalam tangkapan gambar yang dibagikan oleh Ernest, aku melihat ada nama akun penjual obat pembesar payudara tersebut. Aku kemudian menuju akun instagram penjual obat dan menemui akun tersebut dikunci. Baiklah.
Aku kemudian kembali lagi ke Rwitter untuk membaca diskusi yang terjadi di sana. Sampai aku menemukan bahwa akun si penjual obat dibahas oleh akun instagram dokteroid, sebuah akun yang mengedukasi masyarakat tentang berbahayanya tindakan medis yang dilakukan orang yang tidak kompeten.
Dari akun instagram dokteroid ini aku tahu bahwa si penjual obat adalah bidan. Dia menjual obat-obatan injeksi untuk kecantikan dari luar negeri. Barang-barang itu antara lain V-C Injection, Puberogen (dengan zat aktif HCG), beberapa obat injeksi untuk pemutih kulit, dan beberapa obat injeksi berisi hormon untuk mengencangkan payudara.
Dalam kemasannya tertulis dosisnya adalah as directed by physician. Jadi seharusnya obat ini dijual dengan resep dokter, kan? Bukan diberikan begitu saja seperti menjual body lotion. Tapi di luar itu, yang membuatku bertanya-tanya, darimana bidan ini mendapatkan obat-obatan tersebut?
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia no. HK 00.05.1.3459, disebutkan bahwa yang berhak memasukkan obat impor ke dalam wilayah Indonesia adalah industri farmasi atau pedagang besar farmasi.
Obat-obat impor tersebut kemudian diberi izin edar oleh BPOM. Namun ketika aku mengecek obat-obat tersebut di cekbpom.pom.go.id, data obat tersebut tidak ditemukan. Artinya, obat-obat tersebut kemungkinan ilegal (tolong koreksi kalau aku salah, ya).
Yang cukup mengejutkan, malam tadi aku membaca lini masa Facebook. Salah seorang teman, yang bekerja sebagai guru, menjual obat injeksi yang sama dengan yang dijual oleh bidan penjual obat.
Ada beberapa hal yang terlintas di benakku. Apakah perdagangan bebas sudah dimulai? Kalau memang iya, apakah peraturan tentang obat import itu sudah tidak berlaku?
Walaupun sebenarnya, di pasal 197 undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan ditulis bahwa "setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak satu miliar lima ratus juta rupiah".
Sekarang, perempuan mana sih yang enggak mau punya kulit kencang, putih, dan halus? Perempuan mana yang tidak mau punya tubuh yang bisa dibilang seksi? Kemudian di sosial medianya banyak pengikut dan banjir permintaan endorse.Â
Penampilan fisik memang bukan segalanya, namun jangan lupa sampai sekarang look book from the cover masih berlaku. Kalau tidak, buat apa penerbit buku mahal-mahal membayar cover designer?
Di sinilah para penjual obat tersebut masuk. Mereka menawarkan hasil cantik sempurna yang instan dengan harga yang terjangkau. Sangat disayangkan bila penjualnya ternyata adalah orang-orang berpendidikan tinggi yang seharusnya tahu etika dan perundang-undangan.
Aku yakin, dinas terkait bukan hanya diam saja menyaksikan fenomena ini. Dari Kompas.com, kita bisa membaca berita tentang digerebegnya sebuah toko yang menjual kosmetik tanpa izin dari BPOM. Atau berita dari news.okezone.com yang berisi penggrebegan terhadap gudang kosmetik ilegal yang pemasaran produknya secara daring.
Aku bisa membayangkan betapa repotnya menyelidiki akun-akun penjual obat secara daring. Ketika kita memesan barang, barang-barang dikirimkan lewat jasa pengiriman barang. Apakah kita tahu di mana alamat mereka? Sepertinya agak susah mengeceknya.Â
Kita sebagai masyarakat, bisa turut serta membantu BPOM dengan melaporkan akun-akun penjual obat yang melenceng dari peraturan. Dan, menjadi konsumen yang cerdas dengan tidak tergiur hal-hal yang berbau instan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI