Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Terpisah oleh Jalan Raya

6 Agustus 2018   12:38 Diperbarui: 6 Agustus 2018   12:59 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

"Pak Parjo, rumahmu itu yang ini. Ngapain bersih-bersih di sana?" teriak seorang ibu yang mengenakan celana training berwarna merah dan kaos putih lengan panjang. Teriakkan tersebut disambut gelak tawa bapak-bapak yang sedang mengecat pagar dan ibu-ibu yang menyapu trotoar.

Ibu itu menunjukkan bangunan rumah susun 3 lantai yang cat temboknya sudah memudar. Di depan rumah susun tersebut terdapat kios-kios yang berjualan makanan, kelontong, dan pulsa. Trotoar jalan di bagian rusun 3 lantai tersebut tidak rata, banyak bata yang sudah terlepas dari tempat seharusnya dia berada. Beberapa sampah plastik tampak menumpuk di antara pot tanaman yang dipasang di trotoar itu.

Pemandangan itu jauh berbeda dengan bangunan apartemen 20 lantai yang ada di seberangnya. Cat temboknya yang berwarna krem rata menunjukkan bangunan tersebut rutin dirawat secara berkala. Pagar tembok setinggi 2 meter dengan warna krem memberikan kesan rapi. Kesan tersebut dipertegas dengan trotoar dengan bata-bata yang terteta rapi di tepi jalannya. Tanaman dalam pot di trotoar tersebut memberikan efek rindang pada orang yang melaluinya.

Di sudut pagar tembok apartemen terdapat sebuah taman kecil seluas 2 meter persegi dengan 2 buah pohon teh-tehan berbentuk bulat dan tanah yang ditutup oleh rumput gajah. Di taman inilah, Pak Parjo memotong rumput yang sudah panjang sambil mendengarkan kata-kata dari orang yang ada di seberang jalan. Pak Parjo dan beberapa orang lainnya, mengenakan setelan biru tua. Di dada kirinya tersemat name tag berisi nama, foto, dan nama perusahaan yang memberi Pak Parjo gaji setiap bulannya.

Matahari sudah semakin tinggi ketika orang-orang yang kerja bakti di trotoar sisi rusun lantai 3 memasang umbul-umbul. Umbul-umbul yang terpasang didominasi warna merah dan putih. Pak Parjo dan teman-teman kerjanya juga memasang umbul-umbul berwarna merah dan putih di trotoar sisi apartemen. Pada bulan Agustus seperti ini, jalanan Kota Jakarta bersolek menyambut peringatan hari kemerdekaan negara.

Pak Parjo duduk di pinggir taman yang tadi dibersihkannya. Di bawah umbul-umbul yang baru selesai dipasangnya. Jonathan, seorang jurnalis fotografer yang berkantor di Jalan Palmerah, sejak tadi membidikkan lensa kameranya ke Pak Parjo, orang-orang yang bekerja bakti, dan ke arah umbul-umbul yang sudah dipasang. Kini, dia mendekati Pak Parjo yang sedang duduk termangu.

"Selamat siang, Pak," sapa Jonathan pada Pak Parjo. "Boleh saya ikut duduk?"

Pak Parjo menoleh pada Jonathan. Dia memperhatikan pria berkulit cokelat dengan topi hitam yang tersenyum padanya. Di lengan kirinya yang kekar tergantung tali kamera berwarna hitam. Pak Parjo membalas senyum Jonathan sambil mempersilakan Jonathan duduk.

"Bapak tinggal di rusun depan?" tanya Jonathan. "Maaf, bukan mau ikut campur. Saya hanya mendengar ibu-ibu di seberang meneriaki Bapak."

Pak Parjo tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala.

"Bersyukur saja Anak bisa bekerja dengan nyaman," kata Pak Parjo. "Bisa memotret jalanan kesana dan kemari tanpa ada orang yang menyindir. Kemerdekaan bukan untuk orang-orang yang tidak punya pilihan seperti saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun