Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setelah Pertanyaan "Kapan Nikah" Terjawab

9 November 2017   17:24 Diperbarui: 9 November 2017   18:07 3611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kliksolihin.wordpress.com

Pernikahanku berlangsung hampir 2 bulan yang lalu. Aku dan suamiku hidup dengan tenang sampai orang-orang mulai bertanya, 'udah hamil belum?' atau 'Kapan nih isi?'. Belum lagi yang bukan bertanya tapi menuduh disertai dengan saran yang tidak diminta seperti, 'jangan ditunda-tunda' atau 'jangan kb-kb an nanti rahimnya kering' atau sejenisnya.

Beberapa hari yang lalu, aku melihat di Facebook, temanku membagikan tabel yang berjudul 'Tabel Usia Pernikahan Dalam Sudut Pandang Ekonomi dan Masa Depan'. Aku membaca komentar yang menarik yang bertuliskan, "Itu sebenarnya tabel pertanyaan kapan menikah? Kapan punya anak? Kapan mantu? Hidup dengan tabel itu seperti hidup untuk menjawab pertanyaan."

Sejak tahun lalu, aku sudah akrab dengan pertanyaan 'kapan nikah'. Dan jujur saja, tekanan sosial itu berat ketika kita hadapi sendiri. Aku beruntung punya ayah yang akan menjawab, 'Anaknya masih suka main' ketika ada yang menanyakan pertanyaan kapan itu padaku.

Pertanyaan kapan itu seperti tidak ada habisnya. Dosenku pernah berkata, "Pertanyaan dari masyarakat itu akan terus bertingkat dan tidak ada habisnya. Sekarang orang-orang bertanya pada kalian kapan lulus. Setelah itu akan bertanya kapan bekerja? Ketika sudah punya pekerjaan yang mapan mereka akan bertanya lagi kapan menikah? Setelah menikah akan ditanya kapan punya anak? Ketika anaknya sudah agak besar akan ditanya, kapan punya adek? Begitu terus sampai negara api menyerang. Jadi saran saya, kalian belajarlah nyaman dengan diri sendiri dan belajar mengatur emosi dari ketika pertanyaan itu masih ringan."

Lalu ada yang berkomentar seperti ini di status tabel tadi, "Tapi di usia yang katanya ideal tersebut orang masih belum mencapai kedewasaan yang cukup. Jadinya malah berbahaya bagi pendidikan anaknya. Menikah itu kalau sudah waktunya. Waktu manusia dan Tuhan kan berbeda, diikutin aja jalannya. Jodoh mah insya Allah gak akan ketuker."

Usia ideal untuk menikah yang ditunjukkan tabel tersebut adalah usia 25 tahun sampai 28 tahun. Ya jujur saja, pada usia 25 tahun tidak terlintas dipikiranku tentang pernikahan. Pada usia tersebut aku sudah memiliki tabungan yang cukup untuk berfoya-foya. Ya aku melakukan kegemaranku untuk menimbun buku dan jalan-jalan.

Ketika akan mengurus pernikahan, dari KUA mengharuskan aku dan calon suami berkonsultasi dengan psikolog. Kata orang KUA, tingkat perceraian di Sleman (kabupaten tempat aku melangsungkan pernikahan) tinggi apa lagi pada pasangan muda. Karena itu kami wajib berkonsultasi pada psikolog untuk memantapkan pilihan menikah, memberi arahan tentang tanggung jawab suami atau istri di keluarga baru, dan memberi saran tentang bagaimana kehidupan selanjutnya.

Ya jujur saja, tanggung jawab pada diri sendiri, aku masih sangat kurang pada usia kurang dari 25 tahun. Di usia itu aku masih suka merengek-rengek pada ayah dan ibuku. Emosipun sangat sukar untuk dikontrol. Namun seiring berjalannya waktu dan aku banyak berinteraksi dengan orang aku belajar mengendalikan diri dan menjadi manusia yang mandiri.

"Kalo menikah umur 25 tapi baru punya anak umur 45 gimana?" tulis teman yang lain di kolom komentar.

Seseorang menjawab, "Yang nikah awal aja bisa baru dikasih anak umur 45. Apalagi kamu baru nikah umur 40?"

Kedua orang itu kemudian berdebat tentang menikah di usia 'ideal' yaitu 25 -28 tahun seperti dalam tabel dan di usia 'matang' yang merujuk angka 35 tahun lebih. Aku menyimak perdebatan panjang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun