Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menemukan Makna Sumpah Pemuda Melalui Film "Negeri Dongeng"

30 Oktober 2017   17:17 Diperbarui: 27 Oktober 2020   22:15 2788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: greeners.co

Minggu pagi (29/10/2017) sambil menunggui suamiku yang sedang menulis aku berselancar di dunia maya. Banyak yang membuat tulisan dan video tentang sumpah pemuda. 

Banyak yang memiliki harapan dari peringatan sumpah pemuda seperti pemuda bisa bebas berkreasi, bisa memberi yang terbaik, bisa membangun masyarakat, bisa mencerdaskan kehidupan bangsa dan bisa melakukan hal yang lainnya lagi.

Aku agak gimana gitu membaca tulisan-tulisan tersebut. Gak salah sih, enggak. Cuman ini momennya sumpah pemuda. Bukan kemerdekaan. Kalian tau gak sih apa yang diucapkan orang-orang ketika sumpah pemuda berlangsung?

Kekecewaanku terobati sedikit ketika aku menonton vlog dari TBM Rumah Pelangi. Saat itu aku mendengar pembina TBM Rumah Pelangi, Om Bisot berkata bahwa ada satu visi yang dibagi bersama. Semua orang memiliki visi untuk bersatu.

Ya! Peristiwa sumpah pemuda, setauku adalah momen di mana pemuda-pemuda dari berbagai suku di Nusantara mengatakan bahwa kami berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu: Indonesia! 

Jadi harusnya di peringatan hari sumpah pemuda ini orang-orang yang lagi pada seneng terkotak-kotak dengan isu rasis dan kita semuanya mengingat bahwa kakek kakek kita dulu bersumpah bahwa kita ini satu. Kita ini Indonesia. Bukan bani kotak-kotak, bani sorban, bani apalah-apalah yang lainnya.

Sore harinya, suamiku mengajakku ke Mega Bekasi untuk menonton pemutaran film Negeri Dongeng. Sebuah film dokumenter yang dibuat oleh 7aksa tentang sebuah tim yang ingin menaklukkan 7 puncak gunung tertinggi di Indonesia.

Ketujuh puncak gunung tersebut yaitu Gunung Kerinci (Sumatra), Gunung Semeru (Jawa), Gunung Rinjani (Nusa Tenggara), Gunung Bukit Raya (Kalimantan), Gunung Latimojong (Sulawesi), Gunung Binaiya (Maluku), dan Gunung Jaya Wijaya (Papua). 

Film ditutup dengan mengejutkan karena Anggi Frisca, sang sutradara, hadir di depan penonton untuk mengucapkan terimakasih karena kami sudah menonton filmnya.

Dalam perjalanan dari barat ke timur, mereka melalui banyak hal sebagai sebuah tim. Namun semua yang ada disitu membagi satu visi yang sama: menuju puncak. Berjalan sebagai sebuah tim bukan perkara yang mudah. 

Drama-drama yang terjadi dalam tim itu pasti ada. Bahkan saat mendaki gunung Binaiya (kalau tidak salah) seorang pendaki menggerutu, "Gini nih kalo kelamaan di kota. Sifat egoisnya pada kambuh."

Ya, menyatukan individu-individu memang tidak mudah. Makanya kita harus bersatu. Menjadi satu dengan kesadaran kita masing-masing. Setiap orang bergerak melawan egonya masing-masing dan menatap terus pada tujuannya. Begitulah pesan yang aku dapat dari menonton film ini.

Selain tentang bersatu, hal lain yang aku tangkap dari film ini adalah tanah air Indonesia yang luar biasa kaya. Di perkebunan teh di kaki Gunung Kerinci, tim ini menemukan fakta bahwa daun teh kualitas nomor 1 dan nomor 2 adalah untuk diekspor. 

Masyarakat Indonesia menggunakan teh kualitas nomor 3, dan itu menjadi teh premium. Agak miris juga mendengarnya. Kita sendiri tidak mampu membeli hasil alam kita yang terbaik.

Di kaki Gunung Jaya Wijaya, mereka sampai di dataran yang penuh dengan bebatuan dan tanaman pakis. Gambarannya mirip dengan pemandangan di komik Flinstone. 

Saat itulah Anggi, salah satu pendaki yang merangkap menjadi sutradara film ini, berteriak, "A.... indah banget. Bener-bener kayak di negeri dongeng."

Kita harus juga bersatu untuk memerangi kerusakan lingkungan. Jangan sampai karena ego dan tangan jahil beberapa gelintir orang, segala keindahan yang ditunjukkan dalam film Negeri Dongeng ini lenyap begitu saja. Tanah air ini, bukan warisan dari nenek moyang kita tapi titipan untuk anak cucu kita.

Banyak hal yang bisa kita lihat lebih banyak tentang Indonesia dari film ini. Walaupun beberapa kali aku sempat kehilangan cerita. Misalnya ketika Teguh, salah satu pendaki, tidak ikut melanjutkan perjalanan karena sakit, aku sempat bertanya-tanya, "ih, dia kenapa? Sakit apa? Trus gimana?"

Namun karena ini adalah film dokumentasi, kehilangan cerita untuk hal-hal semacam itu tentu saja termaafkan. Dan aku menyaksikan film ini sampai akhir. Sampai di rumah dan keesokan harinya pun, aku dan suamiku masih terus membahas tentang film ini. Menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun