Ya, menyatukan individu-individu memang tidak mudah. Makanya kita harus bersatu. Menjadi satu dengan kesadaran kita masing-masing. Setiap orang bergerak melawan egonya masing-masing dan menatap terus pada tujuannya. Begitulah pesan yang aku dapat dari menonton film ini.
Selain tentang bersatu, hal lain yang aku tangkap dari film ini adalah tanah air Indonesia yang luar biasa kaya. Di perkebunan teh di kaki Gunung Kerinci, tim ini menemukan fakta bahwa daun teh kualitas nomor 1 dan nomor 2 adalah untuk diekspor.Â
Masyarakat Indonesia menggunakan teh kualitas nomor 3, dan itu menjadi teh premium. Agak miris juga mendengarnya. Kita sendiri tidak mampu membeli hasil alam kita yang terbaik.
Di kaki Gunung Jaya Wijaya, mereka sampai di dataran yang penuh dengan bebatuan dan tanaman pakis. Gambarannya mirip dengan pemandangan di komik Flinstone.Â
Saat itulah Anggi, salah satu pendaki yang merangkap menjadi sutradara film ini, berteriak, "A.... indah banget. Bener-bener kayak di negeri dongeng."
Kita harus juga bersatu untuk memerangi kerusakan lingkungan. Jangan sampai karena ego dan tangan jahil beberapa gelintir orang, segala keindahan yang ditunjukkan dalam film Negeri Dongeng ini lenyap begitu saja. Tanah air ini, bukan warisan dari nenek moyang kita tapi titipan untuk anak cucu kita.
Banyak hal yang bisa kita lihat lebih banyak tentang Indonesia dari film ini. Walaupun beberapa kali aku sempat kehilangan cerita. Misalnya ketika Teguh, salah satu pendaki, tidak ikut melanjutkan perjalanan karena sakit, aku sempat bertanya-tanya, "ih, dia kenapa? Sakit apa? Trus gimana?"
Namun karena ini adalah film dokumentasi, kehilangan cerita untuk hal-hal semacam itu tentu saja termaafkan. Dan aku menyaksikan film ini sampai akhir. Sampai di rumah dan keesokan harinya pun, aku dan suamiku masih terus membahas tentang film ini. Menarik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H