Mas Eka kadang merasa terharu ketika ada yang mengunggah status selesai membaca bukunya lewat gawai dengan membeli e-book atau pinjam di i-jak. Setidaknya pembaca bukunya membaca karyanya lewat jalur yang legal. Pak Jokpin juga merasa sangat terbantu dengan adanya media digital. Beberapa orang beliau tanya, tau karyanya dari mana. Banyak yang menjawab dari sosial media. Beliau merasa karyanya lebih dikenal karena peran media sosial.
Yang membuat Pak Jokpin kagum pada media digital lain lagi. Beliau amat mengapresiasi kutipan-kutipan puisinya yang diterjemahkan dalam bentuk gambar maupun animasi. Hal ini lah yang menurutnya perlu dieksplorasi lebih dari dunia digital. Dunia digital menawarkan bentuk visual dari karya sastra yang tidak bisa dinikmati oleh pembaca buku cetak.
Cacatan 'gong' dari sharing ini, memang di internet atau dunia digital, semua orang bisa menjadi apa saja. Dia bisa jadi penulis dengan memposting karyanya di media digital. Dia juga bisa menjadi pedagang dengan mengunggah produk-produknya di market place. Namun, bila mau menjadi penulis tentu tidak cukup dengan memposting puisi sekali atau dua kali. Ada jalan panjang berliku yang harus dilalui. Ada proses yang harus dijalani.
***
Aku sendiri kalau ditanya, lebih suka baca buku cetak atau digital. Pasti jawabannya buku cetak walaupun banyak waktuku habis untuk menulis dan membaca di media digital. Ya namanya juga perkembangan. Kita juga perlu mengenal dan beradaptasi. Namun untuk menghadapi literasi digital juga, kita perlu waspada dan kritis. Sesuatu yang disampaikan di sosial media harus kita pastikan kebenarannya sebelum kita bagikan dan kita tanggapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H