….
Temanku yang memegang kamera sibuk mencari korek.
“Kamu mau ngapain?” tanyaku.
“Sambil ngrokok ya mbak ambil gambarnya?” pintanya.
“Ih banyak anak-anak, ai kamu!” sentakku.
Kemudian dia mengurungkan niatnya untuk menyulut rokok. Kami kemudian memulai pengambilan gambar untuk membuat video yang akan diikutsertakan lomba yang bertema perpustakaan.
Setelah 4 jam mengambil gambar, temanku yang tadi sibuk mencari korek minta rehat.
“Kita istirahat dulu ya, Mbak? Aku udah sakau ni,” Katanya.
Kami lalu menyingkir ke ruangan yang tidak ada anak-anak dan pengelola taman bacaannya mempersilakan temanku tadi untuk merokok.
“Sebenernya rokok tuh gak sehat sih, tapi da gimana ya? Susah ih mau berhenti,” gumam temanku sambil menyulut api rokoknya.
Aku kemudian terdiam. Perkataannya kemudian membawaku ke beberapa pekan yang lalu saat aku pulang dari Purwokerto ke Cimahi menumpang kereta Serayu Pagi. Sebelahku adalah bapak-bapak yang sudah tua. Saat berhenti di stasiun Banjar, si bapak ini sudah gelisah.
“Di sini berhentinya lama gak ya, Neng?” tanyanya.
“Enggak Pak. Yang lama mah nanti sehabis Tasik. Kenapa pak?” Aku bertanya balik.
“Saya pingin ngerokok. Di kereta kan gak boleh ngerokok,” Jawabnya. Dia kemudian menambahkan. “Sebenarnya kata orang-orang ngerokok itu gak baik. Tapi kalau sudah setua saya ini mau berhenti merokok sulit sekali. Saya sudah beberapa kali mencoba.”
***
Banyak perokok yang tidak tahu diri. Merokok tanpa melihat orang di kanan dan kirinya terganggu dengan asapnya. Merokok tanpa permisi dengan orang di sekitarnya.Merokok tanpa melihat dia sedang di pom bensin atau di rumah sakit.
Banyak dari perokok sepertinya memang orang jahat yang menyebalkan. Namun ada dari mereka, masih merupakan perokok yang tau diri, yang tidak merokok di tempat umum dan permisi bila mau merokok. Dan mendengar kata-kata temanku dan bapak yang aku temui di kereta itu aku jadi merasa jahat pada mereka.
Apa yang sudah kita, orang-orang yang tidak merokok, lakukan pada mereka supaya mereka mau berhenti merokok? Menebar ancaman bahwa rokok itu merugikan? Melarang mereka merokok di banyak kawasan? Mengancam mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan?
Siang tadi aku membaca buku kumpulan essay Cak Nun yang berjudul Kiai Sudrun Gugat. Salah satu artikelnya yang berjudul Tinju Multidimensional menceritakan tanggapan Cak Nun terhadap penentangan Taufiq Ismail pada olahraga tinju. Cak Nun pernah menjadi ofisial darurat seorang petinju kelas bawah (istilah beliau adalah kelas ayam sayur) yang jika kalah sang petinju mendapat uang 10 ribu tanpa jatah makan. Petinju yang didampingi oleh Cak Nun akhirnya menang. Namun kemenangan itu membuatnya menangis karena lawannya juga seorang suami miskin dengan istri dan anak yang menunggu di rumah mengharapkan hadiah.
Orang-orang ini terpaksa bertinju demi kelangsungan hidup keluarganya. Cak Nun merasa sadis dan bodoh bila dia hanya mengatakan bahwa tinju itu biadab. Memukul orang itu haram. Tanpa memberi mereka pekerjaan di luar tinju yang terpaksa itu.
Memang perumpamaannya tidak apple to apple sih, namun bukankah ada kemiripan? Si petinju yang dibilang biadab ini sebenarnya juga tidak mau bertinju. Hanya saja dengan cara ini dia bisa mendapatkan uang untuk menyambung hidup. Dan si perokok yang kita anggap orang tidak baik ini, ada dari mereka yang sebenarnya dengan berbagai alasan sudah tidak ingin merokok. Namun mereka tidak tahu bagaimana cara berhenti merokok dan menghilangkan ketergantungan mereka pada rokok. Bukankah kita juga jahat meminta mereka berhenti merokok dengan segala ancaman yang diberikan tanpa memberikan solusi bagaimana cara supaya mereka berhenti merokok?
Walaupun memang sih, mau berhenti merokok atau tidak itu sebenarnya masalah kemauan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI