Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Etika Berbasa-basi Saat Kumpul Keluarga

26 Juni 2017   21:31 Diperbarui: 27 Juni 2017   09:02 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“....“Waktu berkumpul keluarga” biasanya menjadi ajang nyebahi gara-gara harus siap berkali-kali diberondong pertanyaan “kapan lulus”, “kapan nikah?” dan berbagai jenis pertanyaan “kapan” lainnya. Pertanyaan gak mutu yang biasanya dilemparkan oleh sanak saudara yang lebih tua.

Mereka yang suka ngasih pertanyaan itu ndak tau aja, tiap pertanyaan jenis kapan itu dilontarkan, yang lebih muda ini sebenernya udah untup-untup pengen banget balik nanya, “kapan mati?”...”

Itu adalah penggalan artikel yang ditayangkan mojok tahun lalu.

Tiga sampai empat tahun yang lalu saat aku mulai merantau, aku tidak berlebaran di rumah selama 2 atau 3 kali lebaran karena kepentok pekerjaan. Berlebaran di rumah pun mungkin hanya 1 atau 2 hari saja untuk pindah tidur. Sehingga aku tidak terkena sindrom pertanyaan “kapan” itu.

Sampai pada tahun lalu, aku bisa libur seminggu saat lebaran. Dan berdatanganlah pertanyaan pribadi yang menyebalkan itu padaku membuatku agak menyesal mengambil jatah libur. Di mulai dari pertanyaan ‘kapan nikah’ sampai pertanyaan’ kenapa gak kerja kayak gini gajinya lebih banyak?’. Dan aku juga jadi dibanding-bandingkan dengan saudaraku yang seprofesi denganku dari sisi gaji. Apa sih? Rejeki udah ada yang atur kali...

Untung aku punya ayah yang keren dan pengertian.

Semua pertanyaan tadi ditangkis dengan kata-kata, “biarin aja, orang dia yang menjalani.”

Sejak saat itu aku ikut arus untuk membenci waktu berkumpul keluarga. Kemarin, saat berlebaran ke rumah seorang kerabat, seseorang yang masih aku panggil simbah menceritakan kerabat lainnya yang bercerita bahwa anaknya naik pangkat dan berpenghasilan tinggi. Tiba-tiba moodku jadi rusak karena teringat pada pengalaman tidak menyenangkan tahun lalu.

Saat ibuku mengajak kami untuk berkunjung ke rumah saudara yang dimaksud, aku agak enggan. Dan ayahku menangkap keenggananku.

“Kamu pasti gak mau kesana karena denger cerita simbah tadi...” katanya saat ayahku sudah mengenakan kemeja dan aku masih duduk di meja makan.

“Inget gak sih taun lalu dia mbanding-mbandingin aku sama cucunya yang naruh nama di apotek trus dianya mengerjakan pekerjaan lain itu? Aku ma dia punya prinsip yang berbeda, plis. Hidup itu bukan masalah berapa banyak rupiah yang terkumpul!” kataku.

“Bapaknya ngerti, tapi ya udah lah orang ketemu juga setahun sekali kok. Mamanya marah nanti kalo kamu gak ikut,” kata ayahku ngereh-reh.

Akhirnya aku ikut pergi dengan setengah hati.

Saat di mobil, aku iseng-iseng buka facebook dan mendapati sebuah video berjudul “Pertanyaan Terlarang Saat Kumpul Keluarga”. Bahasannya adalah ada orang yang merasa risih ketika ditanya tentang hal pribadi saat kumpul keluarga. Kita tau bahwa itu memang pertanyaan basa basi. Namun basa basi juga ada etikanya. Jangan sampai basa basi yang menurut kita bukan omongan penting, menjadi hal yang bisa menggarami luka lawan bicara kita.

Menurut seorang psikolog, kalau pada anak SD, kita boleh saja bertanya tentang kegiatan dan hobi. Namun jangan tanyakan masalah pencapaian seperti, “kemarin juara enggak?”. Masalah pencapaian itu sensitif. Anak yang masih berusaha untuk mencapai sesuatu akan merasa minder bila ditanya seperti itu. Dia akan merasa bahwa dirinya tidak kompeten.

Pada anak remaja, jangan bertanya “sudah punya pacar belum?”. Yang sudah punya pacar akan malu mengakuinya, yang belum punya pacar juga tidak suka mendengar pertanyaan seperti itu.

Pada orang tua lanjut usia, masalah kesehatan itu penting. Jangan pernah mengungkit kalau mereka pernah sakit. Itu bisa menurunkan semangat hidup. Katakan saja bahwa mereka terlihat lebih sehat dibanding terakhir kali bertemu.

Jangan pernah menanyakan pertanyaan soal karir, gaji dan pasangan pada dewasa muda. Untuk orang yang berusia 20 atau 30 tahunan, ketiga masalah itu adalah tugas tumbuh kembang. Sangat menyedihkan kalau yang sedang berproses ditanya telak tentang masalah itu. Apalagi pertanyaannya ditambahi dengan penghakiman yang macam-macam.

Untuk orang yang berusia 40 tahunan, biasanya karir mereka sudah mapan. Boleh lah ditanya dengan, “bagaimana pekerjaanmu? Apakah lancar?”. Tapi gak perlu tanya kerja apa dan dimana. Toh yang nanya juga gak butuh kan?

Intinya, tanyakanlah sesuatu yang memang membuat lawan bicara merasa nyaman. Jangan membanding-bandingkan pencapaian orang. Dalam acara kumpul keluarga kita sedang mengakrabkan diri kan? Bukan sedang berkompetisi apa lagi menjadi hakim dari masalah orang kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun